LAMPUNG — Ada ironi besar yang sedang dipertontonkan di bumi Sai Bumi Nengah Nyappur. Di atas tanah yang seharusnya menjadi simbol keadilan dan pelayanan publik, justru berdiri megah kantor pemerintah yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya sendiri.
Ya, selama 27 tahun, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tulang Bawang, Lampung, diduga menumpang hidup di atas tanah milik warga tanpa membayar ganti rugi sepeser pun.
Tanah itu bukan sembarang tanah. Ia milik Hanafi Gelar St. Nimbang Alam, yang kini diwarisi oleh Hi. R. Hasyim dkk., keluarga yang sudah setengah usia memperjuangkan haknya melawan kekuasaan yang seolah kebal hukum. Dalam bahasa sederhana, pemerintah berutang pada rakyatnya sendiri dan pura-pura lupa.
Kuasa hukum ahli waris, Gindha Ansori Wayka, menegaskan bahwa lahan seluas 50,375 hektare, di mana sekitar 10 hektare digunakan untuk membangun kompleks perkantoran Pemkab, telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Bukti hukumnya bukan satu, bukan dua, tapi empat putusan pengadilan:
“Semua jenjang peradilan sudah memastikan tanah itu milik ahli waris. Tapi, alih-alih menghormati hukum, Pemkab malah terus duduk manis di atas tanah orang,” sindir Gindha tajam.
Ironisnya, Pemkab Tulang Bawang sudah pernah mengakui kesalahan itu sendiri. Surat Bupati Nomor 593/258/02/97 tertanggal 17 Juni 1997, ditandatangani Bupati Santori Hasan, menyatakan komitmen melaksanakan putusan Mahkamah Agung dan menyiapkan anggaran ganti rugi pada APBD tahun 1998/1999.
Namun, 27 tahun kemudian, janji itu tinggal lembaran kertas berdebu. Bupati silih berganti, tetapi tanah rakyat tetap dipijak tanpa malu. Seakan kursi empuk di kantor itu terlalu nyaman untuk diisi dengan rasa bersalah.
Persoalan ini bukan sekadar sengketa lahan. Ia adalah cermin betapa hukum bisa lumpuh di hadapan kekuasaan. Bagaimana mungkin pemerintah yang seharusnya menegakkan keadilan, justru menjadi pihak yang menabrak hukum dengan tenang?
Dalam banyak kasus, rakyat kecil diusir karena dianggap menyerobot lahan negara. Tapi di Tulang Bawang, justru negara yang menyerobot lahan rakyat. Dan tragisnya, tak ada aparat yang datang mengetuk pintu menegakkan putusan.
“Kalau rakyat yang salah, hukum bergerak cepat. Tapi kalau pemerintah yang melanggar, hukum seperti sedang tertidur panjang,” sindir seorang warga yang ikut menanti keadilan itu.
Tak tinggal diam, Gindha dan tim hukumnya pada 15 Oktober 2025 melayangkan dua surat resmi kepada Bupati Tulang Bawang (Nomor 02072/B/GAW-Law Office/X/2025) perihal Ganti Kerugian Tanah yang Dikuasai oleh Kantor Pemkab Tulang Bawang, dan Ketua DPRD Tulang Bawang (Nomor 02073/B/GAW-Law Office/X/2025) perihal Permohonan Hearing Terkait Persoalan Tanah Kantor Pemkab Tulang Bawang.
Surat itu telah diterima secara resmi. Kini bola panas berada di tangan pemerintah daerah dan wakil rakyat. Pertanyaannya, apakah mereka punya nyali untuk menegakkan keadilan, atau justru kembali menutup mata demi kenyamanan kursi jabatan?
27 tahun bukan waktu yang sebentar. Generasi sudah berganti, tetapi hak rakyat masih ditelantarkan. Ini bukan sekadar persoalan tanah, ini soal integritas dan moral kekuasaan.
Kantor pemerintahan seharusnya menjadi simbol pelayanan publik, bukan monumen dosa sejarah yang berdiri di atas hak orang lain. Jika negara terus berpura-pura tuli terhadap jeritan rakyatnya, maka suatu hari rakyat akan bertanya. “Untuk siapa sebenarnya hukum ini dibuat?”
Dan ketika hari itu tiba, mungkin gedung megah itu tak lagi tampak gagah, karena fondasinya berdiri di atas ketidakadilan. ***