TANGGAMUS — Bangunan sederhana dengan papan nama yang seharusnya menggetarkan nurani di Kecamatan Semaka, berdiri dengan plang gagah tapi, kusam yakni “Lamban Adem Rumah Restorative Justice Kejaksaan Negeri Tanggamus.”
Namun, bukan semangat keadilan yang pertama kali menyapa mata saat melintas. Melainkan sehelai bendera Merah Putih yang lusuh, robek di bagian atas, dan warnanya nyaris pudar seperti idealisme yang terlalu lama dijemur di bawah matahari kekuasaan.
Bendera itu berkibar pelan di depan rumah keadilan, menandai sebuah ironi yang begitu telanjang, di tempat yang mestinya menjadi simbol kehormatan hukum, justru berdiri simbol negara yang tampak lelah persis seperti citra penegakan hukum itu sendiri.
Menurut warga sekitar, sang bendera sudah berhari-hari bahkan berminggu-minggu dalam kondisi seperti itu.
“Dari jauh masih kelihatan merah-putih sih, tapi kalau dekat, merahnya udah kayak maroon kusam. Putihnya juga jadi krem. Sobeknya makin lebar kena angin,” ujar seorang warga, Jumat 17 Oktober 2025.
Sementara itu, papan nama di depan bangunan itu juga tak kalah menyedihkan berkarat di tepi, catnya mengelupas, seperti sedang ikut protes terhadap kelalaian moral yang sedang berlangsung.
Rumah Restorative Justice yang seharusnya menjadi ruang teduh bagi perdamaian dan keadilan kini malah tampak seperti rumah yang butuh “restorasi” dulu sebelum bicara soal justice.
UU Mengatur, Tapi Siapa yang Mengingatkan?
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 sudah tegas: bendera rusak, luntur, kusut, atau sobek tidak boleh dikibarkan. Namun, aturan tampaknya hanya jadi teks indah di atas kertas, sementara realitas di lapangan seperti sedang mengetawainya dari kejauhan.
“Kalau instansi penegak hukum saja abai terhadap simbol negara, gimana masyarakat mau diajak taat aturan?” sindir aktivis lokal, Hazwarsyah, dengan nada getir.”Yang lusuh bukan cuma bendera, tapi juga rasa malu kita.”
Rumah Restorative Justice adalah gagasan luhur Kejaksaan RI tempat mencari keadilan tanpa dendam, menyelesaikan perkara dengan hati. Sayangnya, di Tanggamus, yang diselesaikan baru benderanya diselesaikan oleh angin.
Bangunan itu kini berdiri sebagai metafora yang terlalu jelas untuk diabaikan. Bendera yang robek di atas rumah hukum, ibarat hati nurani yang terbelah antara idealisme dan rutinitas.
Lambang negara tampak memudar, persis seperti warna keadilan yang semakin samar di mata rakyat.
Barangkali angin Semaka sedang berusaha berbisik:”Aku hanya ingin mengingatkan, kalau keadilan itu tak bisa sekadar dikibarkan, tapi juga harus dijaga.”
Tapi, seperti banyak suara rakyat, bisikan itu mungkin tenggelam di antara laporan, disposisi, dan agenda rapat.
Di negeri yang sering menggelar upacara dengan penuh khidmat tapi lupa maknanya, bendera lusuh di depan rumah keadilan ini bukan sekadar kelalaian ia adalah pesan simbolik yang nyaris puisi.
Keadilan yang rusak tak bisa diperbaiki dengan cat ulang papan nama.
Dan penghormatan pada hukum tak bisa diajarkan kalau simbol negara saja dibiarkan robek.
Mungkin, sebelum bicara tentang restorative justice, ada baiknya kita mulai dulu dengan restorative conscience memperbaiki nurani yang robek, sebelum memperbaiki perkara orang lain.
“Keadilan bukan soal gedung bertuliskan hukum, tapi soal bagaimana kita memperlakukan simbol-simbol yang mewakilinya termasuk selembar kain merah putih yang mulai letih.” ***