Scroll untuk baca artikel
Opini

Presiden Soeharto: HAM vs Logika State Survival Strategy

×

Presiden Soeharto: HAM vs Logika State Survival Strategy

Sebarkan artikel ini
H. M Soeharto Presiden ke-2 RI - foto net
H. M Soeharto Presiden ke-2 RI - foto net

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Dalam sejarah kekuasaan modern, tidak ada negara sepenuhnya bersih dari kekerasan yang dilakukan atas nama penyelamatan bangsa. Ketika negara merasa terancam, hukum sering ditangguhkan, kebebasan dikorbankan, dan kekerasan dilegitimasi.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Ini dalam teori politik dikenal sebagai state survival strategy. Strategi bertahan hidup negara. Sebuah cara berpikir yang menempatkan keberlanjutan negara di atas segalanya. Bahkan di atas moralitas dan hak asasi manusia.

Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651) menulis bahwa tanpa negara yang kuat, kehidupan manusia akan “brutish, nasty, and short.” Logika Hobbesian: kekuasaan absolut dibenarkan sejauh mencegah kekacauan.

Konsep itu diterjemahkan secara modern oleh pemikir realis seperti Hans Morgenthau (salah satu pendiri teori realisme klasik) dan Samuel Huntington (Harvard). Mereka melihat stabilitas sebagai syarat utama bagi pembangunan politik.

Giorgio Agamben (filsuf Italia kontemporer) menyebut sebagai state of exception. Keadaan luar biasa. Hukum ditangguhkan demi melindungi keberadaan negara itu sendiri.

Logika ini tampak hidup dalam praktik politik Indonesia pada era Presiden Soeharto. Ketika ia naik ke tampuk kekuasaan pertengahan 1960-an, negara berada pada titik nadir. Ekonomi runtuh, inflasi lebih dari 600 persen, pertikaian ideologi komunis dan anti-komunis meluas, dan kekerasan politik terjadi di banyak daerah.

Negara kehilangan kendali atas aparat dan wilayahnya. Pemerintahan Presiden Sukarno tidak lagi mampu menjaga otoritas. Langkah-langkah tegas Presiden Soeharto pasca-1965 dapat dibaca sebagai state survival strategy. Upaya menyelamatkan republik dari kehancuran ideologis dan disintegrasi.

Sejarawan Robert Cribb dan Geoffrey Robinson menggambarkan periode 1965–1966 sebagai civil war in disguise. Perang saudara terselubung dua kubu besar: komunis dan non-komunis. Negara terpaksa memilih: membiarkan perpecahan atau menegakkan stabilitas dengan kekerasan.

Militer di bawah Presiden Soeharto mengambil opsi kedua. Dalam narasi Orde Baru, pembasmian PKI dipresentasikan sebagai “penyelamatan bangsa.” Secara moral, itu meninggalkan luka mendalam. Dalam logika state survival, ia dibaca sebagai tindakan darurat untuk memastikan negara tetap berdiri.

Praktik serupa terjadi di banyak negara. Amerika Serikat pada masa McCarthyism (1950-an) menahan dan memecat ribuan warga yang dicurigai komunis tanpa bukti. Inggris menerapkan penahanan tanpa pengadilan selama konflik Irlandia Utara.

Prancis melakukan penyiksaan brutal selama perang Aljazair. Korea Selatan dan Taiwan pada masa Perang Dingin menjalankan pemerintahan militer yang represif. Dalih: menahan ancaman komunis. Semua negara itu, pada intinya, menjalankan logika yang sama: menangguhkan demokrasi demi mempertahankan eksistensi negara.

Di Indonesia, logika tersebut berkembang menjadi model pemerintahan yang disebut Huntington sebagai “otoritarianisme pembangunan.” Negara mengorbankan kebebasan politik demi pertumbuhan ekonomi. Pada era Presiden Soeharto, hasilnya terlihat nyata.

Selama 1970–1996, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai lebih tujuh persen per tahun. Tingkat kemiskinan turun dari sekitar 60 persen menjadi 11 persen. Gini ratio tetap di bawah 0,35: indikator kesenjangan tergolong rendah untuk negara berkembang.

Korupsi tetap ada, tetapi terpusat dan “terkendali” dalam satu jaringan patronase negara. Tidak sefragmentaris era reformasi.

Keberhasilan itu dibayar mahal. Presiden Soeharto dituding memerintah dengan tangan besi. Partai politik disederhanakan menjadi tiga. Kebebasan pers dibatasi. Oposisi politik dipenjara. Negara menegakkan stabilitas dengan disiplin militer dan kontrol ideologi melalui P4, Kopkamtib, dan intelijen.

Dalam pandangan Presiden Soeharto, negara yang lemah tidak akan mampu membangun. Karena itu, semua yang mengancam stabilitas harus direduksi.

Logika state survival strategy terus berlanjut pada tahun 1980-an, dalam bentuk berbeda. Ketika ancaman ideologi mereda, ancaman sosial menjadi sasaran berikutnya. Kebijakan Penembakan Misterius (Petrus) muncul di tengah meningkatnya kejahatan jalanan.

Menurut rezim Presiden Soeharto, Petrus adalah perang melawan kriminalitas yang mengancam rasa aman masyarakat. Sedangkan dalam kacamata HAM, operasi itu adalah pembunuhan di luar hukum: state of exception dalam skala sosial. Sejarawan Adrian Vickers mencatat operasi Petrus menunjukkan bagaimana negara menormalisasi kekerasan dengan alasan efisiensi dan ketertiban.

Menariknya, kebijakan serupa muncul di negara-negara demokratis ketika menghadapi ancaman keamanan ekstrem. Setelah tragedi 11 September 2001, Amerika Serikat memberlakukan Patriot Act. Memungkinkan penahanan tanpa pengadilan dan penyadapan massal.

Di Inggris: Anti-terrorism, Crime and Security Act 2001. Memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menahan tersangka teroris tanpa pengadilan. Termasuk membekukan aset yang dicurigai terkait terorisme. Kanada menyusul dengan Anti-terrorism Act 2001: memperluas pengawasan komunikasi dan penahanan preventif.

Australia melalui Anti-Terrorism Act 2005 memberikan polisi dan badan intelijen kemampuan serupa dalam memantau dan menahan tersangka.

Bahkan di Prancis, serangan teror Paris 2015 memicu pemberlakuan keadaan darurat nasional. Termasuk penahanan rumah tanpa pengadilan dan pembatasan demonstrasi publik.

Semua itu gambaran bahwa state survival strategy tidak khas negara otoriter. Negara demokratis pun mengambil langkah-langkah membatasi kebebasan individu demi menjaga keamanan.

Pembenaran moral terhadap strategi bertahan hidup negara itu sendiri selalu problematik. Sebagaimana dikatakan Agamben, “setiap state of exception berpotensi menjadi permanen.” Apa yang semula dianggap keadaan darurat bisa menjadi kebijakan rutin. Negara yang bermula dari niat menyelamatkan diri berubah menjadi mesin represi yang tak mau berhenti.

Inilah paradoks terbesar Orde Baru: ia lahir dari krisis untuk menegakkan stabilitas, akan tapi akhirnya menciptakan sistem yang menunda demokrasi atas nama stabilitas itu sendiri. Setidaknya begitu tudingan pada era reformasi.

Dua dekade setelah rezim Presiden Soeharto tumbang, kita menyaksikan ironi lain. Demokrasi memang telah datang, akan tetapi negara belum tentu lebih efektif atau adil. Korupsi justru lebih merata, kesenjangan melebar, dan kekerasan aparat belum sepenuhnya hilang.

Ini menunjukkan mengganti sistem (yang dianggap) otoriter tidak otomatis menghasilkan negara lebih manusiawi. Barangkali yang hilang bukan hanya stabilitas, akan tetapi juga kapasitas negara untuk menegakkan ketertiban secara terarah.

Maka, memahami Presiden Soeharto tidak berarti membenarkan strategi kekerasannya. Melainkan membaca sejarah secara utuh. Ia bukan diktator, melainkan pemimpin yang mempraktikkan logika bertahan hidup negara pada saat republik nyaris hancur.

Ia menyelamatkan negara dengan menunda kebebasan. Ia membangun ekonomi, dengan meminimalisir perbedaan. Pada sosoknya kita melihat paradoks klasik politik modern: antara moralitas kemanusiaan dan rasionalitas kekuasaan.

Tidak ada negara yang benar-benar terbebas dari state survival strategy. Yang membedakan adalah kesediaan untuk mengakuinya, merefleksikannya, dan memastikan bahwa keadaan darurat tidak menjadi kebiasaan.

Menyudutkan Presiden Seoharto sebagai pelanggar HAM itu harus di evaluasi. Harus dilihat dalam perspektif utuh. Sejarah mengajarkan: tanpa kekuatan yang ia bangun, mungkin Indonesia tidak akan sampai pada tahap yang memungkinkan kita mengkritiknya hari ini.

• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)