Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID- Memasuki masa tenang kampanye. Kampanye sudah tidak diperbolehkan.
Kita gunakan saja untuk mempelajari para manager campaign bekerja. Mana yang tampaknya berhasil. Mana yang tampaknya mengalami anomali.
Kenapa berhasil. Kenapa pula mengalami anomali.
Sebagai pelajaran bagi demokrasi bangsa kita. Self critisism itu penting. Agar kita tergerak menjadi maju. Tidak stag. Apalagi berjalan mundur.
Jika kita amati, semua capres berimbang dalam hal ketersediaan sumber daya kreatif. Manager campaign para kandidat diisi para cendekiawan dan profesional berwawasan global.
Seperti Tom Lembong di paslon 01. Ada juga Hasto di paslon 02.
Influencer, musisi, video content, media. Semua capres berimbang. Memiliki semua sumberdaya kreatif yang diperlukan. Bukan hanya level lokal. Bahkan level internasional.
Hal yang perlu kita cermati adalah pola serangan dan pertahanan masing-masing paslon. Kubu 01 dan 03 menggunakan strategi menyerang. Total Football, kalau meminjam istilah sepak bola.
Seperti Sepak bola Belanda atau Barca. Strategi ini dicetuskan Johan Cruif. Orang Belanda.
Sedangkan kubu 02 menggunakan pendekatan defensif. Sepakbola negatif (negative football). Seperti strategi Mourinho pada masa jayanya.
Defensif dan mengandalkan serangan balik cepat. Agak membosankan dibanding total football. Tapi langganan mendapat tropi.
Kubu 02, sibuk membalas tudingan yang melemahkan dirinya. Mulai isu lama hingga isu baru. Prabowo memiliki residu isu lama. Sedangkan Gibran membawa isu baru.
Pelanggar HAM, suka kalah, emosional, ambisius, temperamen. Itulah di antara isu-isu lama terus digelontorkan kepada Prabowo Subianto.
Gibran digelontor isu produk haram konstitusi, ingusan, belum berpengalaman, bau kencur, politik dinasti, praktif kolutif. Tentu masih banyak isu lain yang digelontorkan.
Anehnya, pasangan ini terus menanjak elektabilitasnya. Sementara lawannya mengalami kemerosotan. Anomali.
Kenapa?. Tentu kita hanya bisa menduganya saja. Menganalisanya.
Salah satunya, para manager campaign yang wawasannya sudah pada mengglobal itu mungkin melupakan realitas kenusantaraan. Lupa bahwa Nusantara merupakan ranjau-ranjau kultural.
Di tengah gemuruh dinamika politik modern, Nusantara memiliki gemuruhnya sendiri. Cara pikir dan pola-polanya sendiri.
Ibarat ladang ranjau, setiap zona kultural memerlukan perlakuannya masing-masing.
Menggiring aspirasi publik tidak cukup menekan remot dan secara otmatis akan diikuti khalayak luas.
Cara meluluhkan masyarakat Banyumas, Solo, Demak, Semarang, memerlukan perlakuan berbeda. Itupun hanya satu satu provinsi. Jateng.
Sementara Nusantara banyak memiliki zona kultural.
Ranjau-ranjau kultural itu tidak begitu mudah ditundukkan dengan ilmu politik modern. Sama seperti penerapan disiplin ilmu pertanian moderen. Masih harus bersisiran dengan tradisi Pranata Mangsa dari masyarakat lokal.
Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto dinilai sejumlah pihak relatif sukses mengarungi ranjau-ranjau kultural itu. Mereka memimpin relatif lama dengan menyatukan kemajemukan yang sedang bergejolak pada masanya. Sebelum usia membatasi perjalanan karirnya.
Keduanya dikenal kuat menjalani laku spiritual. Konon keduanya memahami betul apa yang disebut dalam tradisi Jawa sebagai “ilmu kanuragan” dan “ilmu kebatinan”.
Kedua ilmu itu sejatinya merupakan pisau analisa untuk memotret dinamika masyarakat. Ilmu kanuragan merupakan pisau analisa memotret karakter. Sedangkan ilmu kebatinan merupakan pisau analisa dalam memotret falsafah hidup atau suara batin yang berkembang dalam masyarakat.
Pemahaman kedua ilmu itu akan memudahkan dalam melakukan pendekatan kepada setiap zona kultural masyarakat. Termasuk antitesa untuk meluluhkan masyarakat itu.
Bagaimana masyarakat Banten, Masyarakat Badui, Masyarakat Sunda, Masyarakat Cirebon, diperlalukan dalam cara yang mereka mudah terima. Melalui cara yang tidak melukai batin mereka.
Begitu juga terhadap karakter masyarakat-masyarakat nusantara yang lain. Jumlahnya amat banyak.
Aspek itu barangkali dilupakan para manager campaign paslon 01 dan 03. Terlalu mengandalkan disiplin ilmu politik modern. Terlalu bertumpu pada rasionalitas cara berfikir masyarakat modern. Melupakan ranjau-ranjau kultural masyarakat nusantara itu.
Untuk urusan pemilu langsung sendiri, masyarakat desa di Nusantara sudah berpengalaman sejak lama. Sangat paham memetakan aspirasi masyarakat dan menggiringnya untuk berubah.
Presiden Jokowi sebagai pengendorse tentu menjadi konsultan bagi paslon 02. Ia memiliki pengalaman dua periode menaklukkan ranjau-ranjau kultural itu.
Paslon 02 tentu diajari bagaimana meluluhkan setiap elemen masyarakat yang beragam itu. Untuk rela memberikan dukungan dalam kontestasi pilpres. Cara yang tidak membuat luka bathin masyarakat.
Itulah barangkali kenapa total football paslon 01 dan 03 mengalami anomali. Copy paste disiplin keilmuan modern atau contoh strategi di negara lain tidak pasti akurat ketika diterapkan dalam realitas masyarakat nusantara yang majemuk.
Itu pula kenapa serangan balik paslon 02 efektif merebut dukungan masyarakat.
Mungkinkah begitu?. Bisa iya bisa tidak. Namanya saja menganalisa.
ARS (rohmanfth@gmail.com), 11-02-2024