TANGGAMUS – Dugaan pelanggaran serius dalam pelaksanaan Program Listrik Masuk Desa di Pekon Atar Lebar, Kecamatan Bandar Negeri Semuong, Tanggamus, Lampung, memantik kemarahan warga.
Namun, saat dimintai keterangan, Camat Bandar Negeri Semuong, Nauval justru memilih sikap aman, bungkam, tak tahu-menahu, dan lempar bola ke pihak PLN.
“Justru baru tahu informasinya. Terima kasih informasinya. Sejauh ini yang kami tahu pengerjaan dilakukan oleh pihak PLN sendiri. Nanti saya konfirmasi dulu ke pihak PLN dan Pekon,” ujar Camat melalui pesan WhatsApp tanpa memberikan kepastian langkah tegas, pada Kamis 24/4/2025 malam.
Warga kecewa, sebab pohon-pohon produktif seperti kelapa ditebang tanpa ganti rugi, dan lahan mereka dipakai mendirikan tiang serta gardu PLN semuanya tanpa izin. Biaya penyambungan listrik pun dipatok Rp3 juta per rumah, jauh di atas informasi internal PLN yang menyebutkan biaya resmi hanya Rp1,4–1,6 juta.
Saat didesak soal ini dan menginformasikan bahwa warga akan membuat laporan ke aparat penegak hukum (APH), Camat justru menanggapi ringan dengan mempersilahkan jika ada bukti.
“Silakan saja kalau memang ada bukti-bukti bahwa masyarakat merasa dirugikan. Saya belum tahu, dan akan saya tanyakan kebenaran berita itu,” ujarnya tanpa empati terhadap keluhan warga.
Alih-alih segera turun ke lapangan, sang Camat malah menyarankan, untuk konfirmasi ke pihak PLN.
“Coba konfirmasi dulu ke pihak PLN” tandasnya.
Pernyataan ini memicu kekecewaan publik. Warga mempertanyakan keberpihakan dan tanggung jawab pemerintah setempat yang seharusnya melindungi hak rakyat, bukan menutup mata atas dugaan pelanggaran.
Sebelumnya, Program Listrik Masuk Desa yang seharusnya menjadi berkah bagi warga Pekon (desa) Atar Lebar, Kecamatan Bandar Negeri Semuong, Kabupaten Tanggamus, Lampung justru berubah menjadi bencana.
Warga mengaku jadi korban perampasan hak, pohon produktif ditebang sembarangan, lahan dipakai tanpa izin, dan biaya pemasangan listrik dipatok selangit tanpa transparansi.
Salah satu warga Pekon Atar Lebar mengaku sebanyak 10 pohon kelapa di kebunnya ditebang panitia proyek pembangunan jaringan listrik tanpa ada ganti rugi, tanpa musyawarah.
Mirisnya, warga justru disodori surat kuasa untuk ditandatangani tanpa penjelasan dan negosiasi sebelumnya atas penebangan tanaman produktif di lahan milik warga.
“Saya tidak mau tanda tangan. Ini tanah bersertifikat, bukan tanah bebas!” tegas warga yang kini harus melihat empat tiang PLN di kebunnya dan satu gardu berdiri di depan rumah tanpa persetujuan, pada Rabu 23 April 2025.
Warga pun mengaku hanya diberi informasi sepihak soal penebangan tanaman tumbuh. Tak ada negosiasi. Tak ada kesepakatan. Tapi penebangan tetap jalan.
“Belum ada mufakat, sudah ditebang saja. Parah!” ujarnya geram.
Lebih tragis lagi, biaya pemasangan KWh melonjak liar, dipatok Rp3 juta per rumah, padahal harga resmi menurut teknisi tak sampai separuhnya.
“Yang disetor ke PLN cuma sekitar 968 ribu ditambah biaya SLO, materai, paling sekitar 1,4 juta sampai 1,6 juta, sisanya entah ke mana,” ujar salah satu teknisi yang enggan disebut namanya. ***