JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) resmi melaporkan dugaan korupsi jumbo dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025 ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (5/8/2025).
Nilainya dugaan korupsi tersebut tembus Rp 255 miliar untuk korupsi konsumsi, plus Rp 51 miliar dari pungutan gaya preman tapi pakai seragam dinas.
Peneliti ICW Wana Alamsyah menyebutkan bahwa laporan ini melibatkan tiga tokoh haji minus akhlak, dua orang ASN di Kementerian Agama dan satu penyelenggara negara.
Meski tak menyebut nama, ia menyilakan KPK “membuka tabir kejahatan mereka” sesuai jadwal tayang instansi.
“Kami tidak buka identitasnya sekarang. Biar KPK punya momen untuk tampil dramatis di konferensi pers nanti,” ujar Wana usai menyetorkan laporan ke Gedung Merah Putih.
Sumber aroma amis tercium dari pengurangan spesifikasi makanan untuk para jemaah. Pemerintah menganggarkan 40 riyal per porsi (setara Rp 200 ribu), namun, menurut ICW, spesifikasi itu diringankan 4 riyal per porsi atau sekitar Rp 16.000 per kepala per kali makan.
Kalikan dengan 203.000 jemaah, dikalikan sekian kali makan, lalu tambahkan bumbu mark-up dan rasa tak tahu malu, jadilah potensi kerugian negara Rp 255 miliar.
Tak cukup dengan menyunat isi nasi, seorang ASN juga memungut “uang rasa” sebesar 0,8 riyal (Rp 3.200) per porsi makanan, langsung dari jatah rakyat yang sedang beribadah.
Kalau biasanya kita mendengar “berkah Ramadan” atau “keutamaan haji”, kali ini muncul istilah baru, “sogokan syar’i.”
Dari akumulasi pungli ala warteg ini, ASN bersangkutan diduga mengantongi Rp 51 miliar, cukup untuk beli unt dan pemakaman mewahnya sampai tujuh turunan.
ICW juga membongkar adanya praktik monopoli dalam layanan “masyair” (pengelolaan akomodasi jemaah dari Musdalifah ke Mina dan Arafah). Dua perusahaan penyedia jasa ternyata dimiliki oleh satu orang, dengan alamat yang sama.
Nampaknya, selain jemaah yang niatnya satu, pemilik perusahaan juga punya “niat satu dompet”.
Dugaan ini melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tentang praktik monopoli. Pasar yang seharusnya sehat untuk jemaah, justru jadi ladang kartel spiritual—di mana kompetitor lain hanya bisa menonton sambil istighfar.
Wana Alamsyah menyayangkan bahwa korupsi di sektor haji bukan yang pertama, dan sepertinya tidak akan jadi yang terakhir, sebab evaluasi dari Kemenag nihil, dan sistem pengawasan cenderung bersifat doa saja tanpa usaha.
Lebih menarik lagi, kasus ini berbeda dengan yang tengah diusut KPK, yang fokus pada kuota haji khusus 2024. Artinya, Kemenag punya dua kasus beda tahun, beda skema, tapi sama-sama soal ibadah yang dilukai.***