JAKARTA – Kalau dunia olahraga adalah panggung besar, maka Indonesia baru saja keluar dari arena bukan karena kalah, tapi karena menolak main dengan aturan yang tak sejalan dengan hati nurani.
Komite Eksekutif Komite Olimpiade Internasional (IOC) resmi membekukan komunikasi dengan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) usai pemerintah menolak memberikan visa bagi atlet Israel yang dijadwalkan tampil pada Kejuaraan Dunia Senam Artistik ke-53 di Jakarta.
Keputusan ini membuat Indonesia kehilangan peluang menjadi tuan rumah ajang olahraga di bawah payung Olimpiade. Tapi jangan salah di balik “pembekuan”, ada api nasionalisme yang justru sedang menyala lebih terang.
Dalam pernyataan resminya, IOC menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap pelanggaran prinsip non-diskriminasi, sebagaimana tertuang dalam Piagam Olimpiade.
“Tindakan seperti ini merampas hak atlet untuk berkompetisi secara damai dan menghalangi Gerakan Olimpiade untuk menunjukkan kekuatan olahraga,” tulis Komite Eksekutif dalam laman resminya, Kamis (23/10/2025).
Dengan kalimat yang lebih dingin daripada es Swiss di Lausanne, IOC juga menyurati semua federasi olahraga internasional agar tidak menggelar kejuaraan di Indonesia sampai ada jaminan tertulis bahwa seluruh atlet, tanpa memandang asal negara, boleh masuk dan bertanding.
Bukan cuma itu, IOC juga memanggil KOI dan Federasi Senam Internasional (FIG) ke markas besarnya di Lausanne untuk membahas pembatalan visa atlet Israel yang tampaknya sudah berubah menjadi isu politik global dalam bungkus olahraga.
Respons Pemerintah: “Kami Tidak Bermain di Lapangan yang Salah”
Menanggapi keputusan IOC tersebut, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Erick Thohir menegaskan bahwa langkah pemerintah membatalkan visa atlet Israel bukan tanpa dasar.
“Langkah ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip ini juga berdasarkan UUD 1945, yang menempatkan keamanan, ketertiban umum, serta komitmen terhadap perdamaian dunia sebagai prioritas,” ujar Erick Thohir di Jakarta, Kamis (23/10/2025).
Erick menegaskan bahwa pemerintah tidak anti-olahraga, hanya anti-ketidakharmonisan. “Kami bukan sedang menutup diri dari dunia, tapi menjaga prinsip yang jadi dasar berdirinya negara ini. Kami tetap mendukung dunia olahraga, hanya saja tidak semua pertandingan bisa dimainkan di semua lapangan,” ujarnya dengan nada diplomatis namun tegas.
Konsekuensi: Indonesia Diistirahatkan dari Ajang Besar
Akibat keputusan ini, Indonesia otomatis kehilangan hak untuk menjadi tuan rumah berbagai ajang di bawah bendera Olimpiade mulai dari Olimpiade, Youth Olympic Games, hingga turnamen-turnamen kualifikasi resmi.
Namun, alih-alih meratap, Erick menegaskan pemerintah tetap fokus membangun kekuatan olahraga nasional. “Kita punya 17 cabang olahraga unggulan yang sedang dibina, plus rencana pembangunan pusat latihan tim nasional. Dunia boleh membekukan, tapi semangat atlet Indonesia tidak pernah beku,” ujarnya dengan senyum tipis yang bisa dibaca: ‘Kita tetap main, walau lapangannya pindah.’
Kasus ini kembali membuka pertanyaan lama: sejauh mana olahraga bisa benar-benar lepas dari politik? IOC mungkin bicara “netralitas”, tapi dunia tahu setiap keputusan di meja olahraga kadang lebih politik daripada politik itu sendiri.
Indonesia memang kehilangan kesempatan menjadi tuan rumah Olimpiade, tapi di sisi lain, menunjukkan sikap berdaulat yang bagi sebagian kalangan justru layak mendapat medali tersendiri.***