LAMPUNG TENGAH — Kasus nyaris mendapat penikaman yang dialami wartawan Wawai News di Desa Karang Jawa, Lampung Tengah yang sempat menyulut amarah publik pecinta kebebasan pers akhirnya berujung manis lebih manis dari koprok yang disangka arisan budaya.
Pada Sabtu, 19 Juli 2025, di Mapolsek Anak Ratu Aji, Kabupaten Lampung Tengah, pelaku pengancaman resmi meminta maaf secara terbuka. Media pun tak jadi berdarah, cukup dengan kata “maaf” dan ikatan kekeluargaan alias bonus silsilah kekeluargaan.
Adalah Ibrahim, warga Kampung Gedung Sari, yang sebelumnya mengacungkan ancaman kepada Sumantri, wartawan Wawai News, saat meliput acara budaya Suro yang anehnya dimeriahkan dengan suara dadu dan aroma taruhan.
Dalam momen mediasi yang berlangsung damai, Ibrahim menyatakan penyesalannya dengan disaksikan langsung oleh Kapolsek Anak Ratu Aji dan anggotanya.
“Saya minta maaf, saya khilaf. Nggak seharusnya saya begitu. Emosi aja waktu itu,” ujar Ibrahim, dengan nada campuran antara menyesal dan malu difoto polisi.
Tak hanya meminta maaf, Ibrahim juga mengungkapkan bahwa dirinya dan Sumantri ternyata masih satu trah bahkan punya hubungan yang bisa membuat KUA bingung jika dilaporkan secara adat.
“Sebenernya kamu ini statusnya lakaw. Tutur saya ke bapak mertuamu itu paman. Jadi kita ini saudara,” tambah Ibrahim, sembari memastikan bahwa selain nyaris saling tikam, mereka juga nyaris reunian.
Sebelumnya, insiden terjadi di Dusun 1, Kampung Karang Jawa, saat Sumantri mencoba menunaikan tugas jurnalistiknya menggali kebenaran di antara suara gendang dan gema dadu koprok.
Namun, konfirmasi yang dimaksudkan sebagai tugas profesi justru memancing reaksi berlebihan dari sang “pengurus arena”.
Entah karena malu, terpojok, atau merasa judi koprok adalah bagian dari warisan budaya tak tertulis, Ibrahim saat itu disebut nyaris mengayunkan senjata tajam.
Untungnya, yang tajam tak sampai mengenai siapa-siapa hanya menggores kesadaran bahwa kadang konfirmasi bisa lebih menyakitkan dari tuduhan.
Proses mediasi berlangsung dengan difasilitasi langsung oleh Kapolsek Anak Ratu Aji dan jajarannya. Aparat bersikap profesional netral, tidak ikut melempar dadu.
Meski kasus belum sempat masuk ke jalur pelaporan resmi, penyelesaiannya tetap disambut positif. Tidak semua perkara harus berakhir dengan borgolkadang cukup dengan duduk bareng, saling maaf, dan mungkin sedikit nostalgia tentang masa kecil di kampung.
Peristiwa ini menambah daftar panjang wartawan yang mengalami tekanan saat bertugas. Lucunya, setelah insiden, korban sering diminta untuk “memahami situasi”, sementara pelaku cukup bilang “khilaf” lalu semuanya kembali normal bahkan tanpa pengakuan apakah koprok itu bagian budaya atau kasir bayangan.
Pesan redaksi bahwa tugas jurnalistik seharusnya dihormati, bukan diancam. Dan kalaupun memang perjudian itu “dibalut budaya”, semestinya tidak dikemas dalam bungkus kekerasan terhadap pencari kebenaran.
Kini, baik Sumantri maupun Ibrahim sepakat tidak memperpanjang masalah. Saling memaafkan, katanya. Tapi masyarakat tidak lupa demokrasi tanpa kebebasan pers hanya akan jadi pesta budaya yang penuh tabuh gendang tapi sunyi makna.
Catatan penting jangan pernah anggap serius acara budaya, jika tiba-tiba ada lapak, dadu, dan laki-laki “berkumis” tebal membawa kode taruhan.***