KOTA BOGOR — Di negeri di mana jalan tol bisa “balik modal” entah kapan dan proyek strategis nasional bisa berubah jadi proyek strategis nalangin, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tampil seperti pahlawan fiskal dengan jubah baru “APBN tak akan menanggung utang Kereta Cepat Jakarta–Bandung.”
Tenang, katanya, uang rakyat aman. Yang bayar nanti bukan kita, tapi Danantara, lembaga dengan nama seperti startup fintech, tapi kerjaannya bukan bikin aplikasi cashback, melainkan menampung utang megaprojek sekelas KCIC.
“Kalau ini kan dibuat Danantara kan ya, kalau dibuat Danantara kan mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri, rata-rata setahun bisa Rp80 triliun,” ujar Purbaya di acara Media Gathering Kemenkeu 2025 di Bogor, Jumat (10/10), dengan nada percaya diri yang cocok buat iklan investasi tanpa risiko.
Kalimat itu terdengar menenangkan, sampai kita sadar: ya tetap juga uang negara, cuma dipindah kamar. Dari APBN ke badan baru bernama Danantara — mirip trik rumah tangga utang kartu kredit A ditutup pakai kartu kredit B, biar kelihatan lunas di mata tetangga.
Purbaya menegaskan, pemerintah ingin proyek infrastruktur berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri walau kaki itu disokong penuh oleh BUMN.
“Kalau enggak ya semuanya kita lagi yang nanggung, termasuk dividennya. Jadi ini kan mau dipisahin swasta sama government,” katanya, seolah menjelaskan perceraian damai antara uang rakyat dan proyek prestisius.
Tapi rakyat tahu, dalam hubungan seperti ini, biasanya yang “swasta” untung duluan, yang “government” baru sadar belakangan bahwa tagihan tetap datang tiap bulan.
Chief Operating Officer Danantara, Dony Oskaria, tampil lebih diplomatis. Ia bilang sudah menyiapkan dua opsi penyelamatan: tambah ekuitas (alias tambah modal lagi) atau serahkan infrastruktur ke pemerintah (alias ya balik lagi ke negara).
“Apakah kemudian kita tambahkan equity, atau memang infrastrukturnya kita serahkan ke pemerintah. Ini dua opsi yang sedang kita tawarkan,” ujar Dony di Jakarta, Kamis (9/10).
Jadi opsi satu: pemerintah tetap keluar duit. Opsi dua: pemerintah dapat aset tapi harus rawat sendiri.
Keduanya, kalau dibaca dengan sarkasme ekonomi tingkat tinggi, sama-sama artinya: “Negara tetap ikut, tapi biar terdengar keren, kita sebutnya investasi.”
Namun Dony tak mau hanya disudutkan soal utang. Ia dengan bangga menyebut dampak positifnya: perjalanan Jakarta–Bandung kini cuma 40 menit, penumpang 30 ribu per hari, dan ekonomi lokal ikut hidup.
Sayangnya, data penumpang itu belum tentu berarti untung. Sebab seperti kata ekonom bijak di Twitter: “Banyak penumpang belum tentu banyak pemasukan, tergantung siapa yang bayar tiketnya.”
Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Perkasa Roeslani juga ikut dalam orkestra optimisme ini. Ia memastikan, negosiasi restrukturisasi utang dengan pihak China masih berlangsung santai tapi serius, seperti obrolan utang teman lama.
“Sedang berjalan dengan pihak China, baik dengan pemerintah China,” ujar Rosan, Rabu (8/10), dengan nada diplomatis khas pejabat yang sudah hapal format jawaban tanpa akibat.
Negosiasi ini, katanya, bukan cuma soal utang jangka pendek, tapi juga “pembenahan menyeluruh terhadap struktur pembiayaan”. Dalam bahasa rakyat: biar lain kali kalau bikin proyek, bisa ngutang lebih elegan.
Di sisi lain, rakyat yang tiap hari berdesakan di KRL tanpa AC cuma bisa senyum getir mendengar janji bahwa proyek seperti KCIC “tidak akan membebani APBN”.
“Loh, dulu katanya ini proyek BUMN, bukan proyek negara. Terus kok sekarang negara sibuk ngurus restrukturisasi?” celetuk warganet di kolom komentar sambil menunggu KRL yang terlambat 20 menit.
Proyek kereta cepat memang cepat tapi cepat bikin bingung siapa yang sebenarnya bayar.
Dan di negara yang hobi menamai badan baru setiap kali utang membengkak, “beban fiskal” mungkin bisa dihapus di laporan keuangan, tapi tidak di memori publik.
Purbaya dan tim mungkin benar secara teknis, APBN tidak langsung menanggung. Tapi secara moral, siapa lagi kalau bukan rakyat yang akhirnya bayar lewat tarif, pajak, dan inflasi?
Kreatif memang, negeri ini. Utang dibungkus investasi, beban disebut sinergi, dan defisit dijelaskan sebagai “optimalisasi anggaran”. Sementara itu, di meja rapat, semua tersenyum karena di atas kertas, semuanya tampak baik-baik saja.
Tapi di dunia nyata, rakyat tahu, Kalau kereta cepat saja masih bisa nyeret APBN pelan-pelan, berarti yang benar-benar cepat hanyalah narasinya.***