Scroll untuk baca artikel
Head LineLingkungan HidupZona Bekasi

Limbah Bakso Kembali Mengalir di Cikeas, Aroma Janji DLH yang Belum Juga Hilang

×

Limbah Bakso Kembali Mengalir di Cikeas, Aroma Janji DLH yang Belum Juga Hilang

Sebarkan artikel ini
Sungai Cikeas, yang dulu diharapkan kembali jernih setelah “penutupan permanen” dua saluran limbah pabrik bakso di Jatirangga, Jatisampurna, Kota Bekasi, hanya isapan jempol - Foto diambil Jumat 17 Oktober 2025 - doc

KOTA BEKASI – Sungai Cikeas, yang dulu diharapkan kembali jernih setelah “penutupan permanen” dua saluran limbah pabrik bakso di Jatirangga, Jatisampurna, Kota Bekasi, kini lagi-lagi menebar aroma khas perpaduan antara daging olahan, janji manis birokrasi, dan pengawasan yang tampaknya ikut hanyut bersama arus.

Padahal, Oktober 2023 lalu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bekasi tampil gagah berani. Melalui bidang Pengendalian Pencemaran, Kerusakan Lingkungan Hidup dan Penegakan Hukum (PPKLHPH), lembaga ini dengan penuh percaya diri menegaskan telah menutup permanen dua saluran limbah milik CV Warisan Matahari Makmur dan PT Berkat Langgeng Lestari.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Bahkan, kala itu Kabid PPKLHPH Andy Frengky mengajak wartawan turun langsung ke lokasi, menunjukkan pipa yang konon sudah disumbat selamanya. Pernyataan tegasnya pun terdokumentasi apik di berbagai media. Sebuah potret kesungguhan pemerintah yang, kalau difilmkan, bisa jadi iklan layanan masyarakat.

Namun, Jumat sore (17/10/2025), fakta di lapangan seperti film yang di-remake tanpa izin saluran limbah dua pabrik itu kembali aktif, dan diperkirakan sudah cukup lama terjadi mengalir deras, dan mengirim pesan ke publik bahwa di negeri ini, sesuatu yang “permanen” kadang hanya berlaku sampai konferensi pers usai.

Aroma yang Tak Pernah Benar-Benar Hilang

Air sungai tampak keruh putih susu dengan bau menyengat yang bikin warga menutup hidung bahkan sebelum menyeberang.

“Dulu katanya ditutup, tapi kok sekarang malah tambah parah. Kalau sore, baunya bisa bikin pusing,”ungkap Kang Abel, pegiat lingkungan hidup dari Adam Hawa Siliwangi yang sudah hafal ritme pencemaran.

Limbah datang di siang bolong, seperti jam kerja pegawai. Limbah cair yang diduga berasal dari aktivitas dua pabrik bakso itu mengandung senyawa kimia berbahaya, yang jika dibiarkan, tak hanya membunuh biota air, tapi juga rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah.

Ironisnya, aliran sungai ini terhubung dengan kawasan pemukiman yang menggunakan air tanah dangkal untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan kata lain, ada kemungkinan aroma limbah yang sekarang di sungai, esok bisa muncul di gelas air warga.

DLH: Dinas Lingkungan Hening?

DLH Kota Bekasi sejatinya punya fungsi strategis mengawasi, menegakkan hukum, dan mencegah pencemaran. Tapi publik kini bertanya-tanya, apakah “pengawasan” itu hanya berlaku sampai di meja konferensi pers?
Kang Abel menyebut laporan mereka ke dinas hanya berbuah janji tindak lanjut yang “masih dikaji”.

Di sisi lain, baik Andy Frengky (Kabid PPKLHPH) maupun Kepala UPTD LH Jatisampurna, Imas, belum memberi penjelasan atas temuan terbaru ini. Sikap diam ini menambah aroma misteri, apakah diam tanda menyelidiki, atau tanda menyesuaikan arah angin politik?

Antara Hukum dan Humor Alam

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaku pencemaran bisa dikenai sanksi pidana hingga 10 tahun penjara dan denda miliaran rupiah. Tapi di lapangan, sanksi itu sering kali tampak sebatas pasal-pasal cantik yang berdebu di rak hukum.

Limbah mengalir, warga menjerit, dan pemerintah tampak sibuk menyiapkan konferensi pers berikutnya.

Sementara itu, ikan-ikan di Sungai Cikeas mungkin sedang beradaptasi menjadi spesies baru, ikan bakso, makhluk yang hidup di antara sisa protein dan janji birokrasi.

Sungai Cikeas seharusnya menjadi sumber kehidupan, bukan laboratorium bau yang dibiarkan bereksperimen sendiri.

“Bekasi tak kekurangan pejabat yang bisa berbicara soal lingkungan yang kurang adalah pejabat yang turun tangan, bukan sekadar angkat bicara.”tegas Kang Abel.

Jika air adalah cermin kejujuran pemerintah, maka Sungai Cikeas kini memantulkan wajah yang keruh. Dan di tengah arus yang berbau tajam itu, Ia hanya berharap semoga “penutupan permanen” berikutnya benar-benar berarti “permanen”. Bukan sekadar permanen di siaran pers.

“Lingkungan bukan butuh pidato, tapi butuh tindakan. Karena bau limbah tak bisa ditutupi dengan kata-kata.”pungkas dia.***

SHARE DISINI!