Scroll untuk baca artikel
Head LineLampung

Pabrik Sabut Kelapa Tanpa Plang di Kawasan Register 38 Lampung Timur, Diduga Hanya Kantongi “Izin Koordinasi”

×

Pabrik Sabut Kelapa Tanpa Plang di Kawasan Register 38 Lampung Timur, Diduga Hanya Kantongi “Izin Koordinasi”

Sebarkan artikel ini
foto lokasi pabrik pengolahan sabut kelapa di register 38 - foto kolase Jali

LAMPUNG TIMUR — Pabrik sabut kelapa tanpa plang yang sebelumnya disebutkan milik Warga Negara Asing (WNA) asal Korea, berdiri gagah di atas lahan kawasan Register 38 Gunung Balak, Desa Bandar Agung, Kecamatan Sribhawono, Kabupaten Lampung Timur, dan pernah dituding kades tanpa IMB, kekinian diduga hanya mengantongi izin koordinasi.

Bangunan yang berada di Simpang Wakidi ini disebut-sebut tidak memiliki izin resmi. Tapi jangan khawatir, karena secara implisit menurut perwakilan dari pengusahanya, yang penting sudah “berkoordinasi”.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Hal itu terungkap setelah Wartawan Wawai News pada Rabu, 9 Juli 2025, menemui seorang perempuan bernama Ibu Sinta, pengusaha asal Sukabumi yang mengaku sebagai pemilik sah dari pabrik “tanpa nama” tersebut.

Dengan tenang dan nada yang nyaris menyerupai pengantar seminar, Sinta mengungkap bahwa dirinya telah didatangi oleh Satpol PP dan pihak KPH (Kesatuan Pengelola Hutan) Gunung Balak, setelah pemberitaan sebelumnya sempat ramai.

BACA JUGA :  Viral Surat Jual Beli Jabatan di Pemkab Lamteng Tembus Rp300 Juta, Inspektorat Bergerak

Namun, alih-alih dikenai sanksi atau teguran keras, semua tampak seperti kunjungan silaturahmi biasa.

“Sudah pernah didatangi dari pihak kehutanan, dari Satpol PP juga. Bahkan Medi dari LSM BPAN pun turun. Tapi katanya, ya, berkas yang ada sudah cukup,” ujar Sinta.

IMB? Tidak Ada. Plang Nama? Juga Tidak Ada. Masalah? Menurutnya, Tidak Ada Juga.

Ketika ditanya soal izin mendirikan bangunan (IMB) dan status legalitas bangunan di lahan konservasi, Sinta kembali menegaskan bahwa ia merasa telah melakukan semua yang diperlukan yaitu koordinasi.

Sebuah istilah multitafsir yang kini tampaknya bisa menggantikan segala bentuk legalitas formal.

“Yang penting kami sudah koordinasi. Semuanya tidak mempersoalkan,” tambahnya, seolah-olah ‘izin koordinasi’ kini resmi diakui dalam undang-undang.

BACA JUGA :  112 Kades Hasil Pilkades Serentak Lampung Timur 2023 Dilantik, Bupati Ingatkan Sinergitas

Tanpa rasa ragu, Sinta juga menambahkan bahwa perusahaannya memberdayakan warga sekitar sebagai tenaga kerja. Satu jurus klasik yang sering dipakai dalam drama hukum pembangunan ilegal: “Yang penting warga senang.”

Padahal, menurut sejumlah pihak, membangun pabrik berskala industri di lahan konservasi jelas merupakan pelanggaran serius. Tapi dalam kasus ini, pelanggaran tampaknya berubah menjadi toleransi, asal katanya dibungkus dengan kata-kata sakti, koordinasi, kontribusi, dan kemanusiaan.

Sayangnya, setelah kunjungan Satpol PP dan pihak kehutanan, tidak ada tindak lanjut yang jelas. Bahkan KPH Gunung Balak, melalui Kepala Seksi Miswantori, mengakui telah mengetahui keberadaan bangunan itu sejak awal, dan telah menyusun laporan serta mengirim nota dinas ke Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.

Tapi hingga kini, belum terdengar kabar tentang tindak lanjutnya. Mungkin notanya sedang transit di ruang fotokopi.

BACA JUGA :  Kepala Desa Batu Badak Lamtim Tusuk Warga Gegara Judi, Korban Dikabarkan Kritis

Fenomena ini membuka pertanyaan besar, apakah cukup dengan “izin koordinasi” untuk membangun industri di kawasan konservasi? Atau kini birokrasi lokal sudah menemukan sistem baru cukup ramah, ajak ngobrol, dan semuanya beres?

Jika masyarakat biasa harus mengurus tumpukan berkas hanya untuk mendirikan warung kecil, maka kisah pabrik sabut kelapa ini menjadi pelajaran penting bahwa hukum bisa fleksibel, asalkan tahu jalurnya.

Kami masih menunggu klarifikasi dari pihak-pihak terkait jika memang ada yang merasa perlu mengklarifikasi. Sampai saat itu tiba, berita ini hanya menyajikan satu kenyataan sederhana:

Di tengah kawasan hutan konservasi, berdiri sebuah pabrik tanpa plang, tanpa IMB, tapi dengan kepercayaan penuh diri bahwa ‘koordinasi’ adalah segalanya.