Saat populasi wong cilik hanya sebatas retorik, agitasi dan propaganda. Kemudian menjadi alat efektif yang murah dan menjangkau luas untuk kampanye dan menumpahkan janji. Ajaran Soekarno itu telah lama menjadi sesuatu yang uthopis dalam politik kontemporer Indonesia. Faktanya, rakyat kebanyakan termarginalkan, bahkan terus menjadi korban eksploitasi rezim kekuasaan, yang tunduk pada kepentingan global baik dari asing maupun aseng.
Sebagai pemilik yang menanam benih, melahirjan dan merawat Indonesia, rakyat Marhaen atau lebih luasnya kalangan jelata dan tak berpunya, sering babak belur menjadi bulan-bulanan oligarki.
Rakyat tak lagi dapat merasakan Pancasila yang mengayomi, UUD 1945 sebagai konstitusi yang berpihak dan NKRI yang melindungi. Kehidupan rakyat hanya diselimuti dan terbelenggu oleh negara yang paceklik berupa kenaikan harga semua kebutuhan dasar baik bahan pangan dan sembako berupa minyak goreng, gula daging sapi dll., maupun kebutuhan sumber energi seperti listrik, BBM dan gas penderitaan rakyat semakin sempurna ketika pajak ikut naik dan praktek-praktek KKN tumbuh subur dan berkembangbiak. Di negeri ini, rakyat kecil seperti sudah di takdirkan menanggung semua kejahatan dan dosa para pemimpin dzolim yang menjadi musuh rakyatnya sendiri.
Sama halnya dengan Soekarno yang menghabiskan masa mudanya dengan pengabdian terhadap bangsa dan negara. Begitupun juga dengan Anies Baswedan, bahkan dalam dirinya memiliki darah pahlawan nasional, dari kakeknya AR Baswedan yang merupakan kawan sejawatnya Soekarno.
Bedanya, Soekarno menghabiskan sebagian besar masa mudanya melawan kolonialisme lama, berpidato membakar massa aksi, mengalami penjara dan pembuangan disana-sini. Sedangkan Anies memulai dan memenuhi jam terbangnya dengan dunia pendidikan.
Sama-sama berawal dari mahasiswa dan aktifis dalam pergerakan nasional. Baik Soekarno maupun Anies sama-sama mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan rakyat, negara dan bangsa. Sebagaimana telah diberikan kepercayaan dan mandat sebagai pemangku kepentingan publik, keduanya jauh dari hiruk pikuk kesenangan dan gaya hidup mewah.
Waktu pikiran, tenaga dan seluruh jiwanya dicurahkan agar bagaimana kemerdekaan sebagai jembatan emas itu, bisa dilalui untuk mewujudkan rakyat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur.
Mungkin terlalu banyak untuk melukiskan bagaimana seorang Soekarno dengan segala “passion” dan gelora jiwanya dengan segala kelebihan dan kelemahannya untuk bangsa ini. Setidaknya dalam jaman dan generasi yang berbeda, telah ada penerusnya baik dari anak biologis maupun anak ideologisnya.
Begitupun dengan Anies, meskipun bukan anak biologis Soekarno, Anies bisa dibilang memahami sekaligus memiliki kemampuan untuk merealisasikan pemikiran dan keinginan Soekarno serta para pendiri bangsa lainnya.
Rasanya, Anies menangkap betul kontemplasi Soekarno tentang “Aku sendiri hidup dalam kekurangan, aku tidak pernah memikirkan uang dan materi lainnya. Tapi apa salahnya aku berusaha membawa rakyatku mendayung ke pulau harapan menuju Indonesia merdeka”, seperti itu ungkapan Soekarno yang dikisahkan Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.
Bahkan Soekarno terkadang harus meminjam uang atau dibelikan kawannya ketika membutuhkan keperluan sehari-hari atau sesuatu yang diinginkan, meskipun dia seorang presiden sekaligus pemimpin besar revolusi Indonesia.
Anies yang banyak berkecimpung di dunia pendidikan mulai dari Indonesia Mengajar, pernah rektor Universitas Paramadina, menjadi menteri pendidikan hingga menjabat gubernur DKI Jakarta. Hidup dalam kesederhanaan dengan mengandalkan gaji dari profesi dosen dan mengeluti dunia akademisi.
Menarik dari keduanya yang sama-sama berjuang untuk negara dan bangsanya, ditengah keterbatasan kehidupan pribadinya terutama dari sisi ekonomi. Kedua figur negarawan itu bukan pemimpin yang bergelimpahan harta, hidup jauh dari ketergantungan pengusaha atau konglomerat yang kini dikenal sebagai oligarki.
Kalau Soekarno dikenal karya fisiknya melalui jembatan Semanggi, masjid Istiqlal, stadion Gelora Bung Karno dan patung-patung kota yang heroik. Maka Anies mengikutinya dengan menjadikan kota Jakarta sebagai kota yang cantik dan penuh estetika, menghadirkan stadion Jakarta Internasional Stadium berskala internasional yang membanggakan, membangun musium sejarah Nabi Muhammad terbesar di dunia di kawasan Ancol yang penting dan bermakna bagi umat Islam dan sirkuit Formula E yang prestisius.
Dalam hal kebathinan dan kejiwaan yang mendorong semangat nasionalisme dan patriotisme. Tak kalah dengan Soekarno yang mengagumi sekaligus berani melawan kapitalisme Amerika dan kepentingan kolonialisme global lainnya.
Dengan karakter progressif revolusioner, Anies berani dengan tegas mengentikan proyek reklamasi para cukong di pantai utara Jakarta, yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan merongrong kedaulatan negara.
Anies juga giat merajut kebangsaan dengan menghidupkan prinsip-prinsip kebhinnekaan dan kemajemukan dalam pergaulan sosial sesama anak bangsa. Soekarno dan Anies seperti dua pemimpin yang ditakdirkan hadir memenuhi panggilan sejarah. Kedua pemimpin itu seakan mengamini aksioma, tiap pemimpin ada jamannya, tiap jaman ada pemimpinnya.
Terlepas dari behavior keduanya, menjadi dasar dan prinsip ialah komitmen dan konsistensi Soekarno dan Anies untuk mewujudkan kehidupan rakyat Indonesia yang lebih baik lagi. Sebagai pemimpin yang taat pada konstitusi sebagaimana yang dituangkan dalam Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.
Ada kesadaran bahwasanya menjadi pemimpin berarti berani hidup menderita. Jalan kepemimpinan adalah jalan penderitaan. Seperti yang diungkap Buya Hamka, pemimpin yang juga kawan sejawat lainnya Soekarno.
Anies memang boleh jadi tidak sekapasitas Soekarno dengan segala prestasi dan pelbagai kontroversinya. Akan tetapi perjalanan Anies masih panjang, ia bahkan bisa menoreh catatan sejarah lebih baik dan membanggakan, termasuk jika rakyat memberikan amanah sebagai presiden Indonesia seperti Soekarno.
Segala terpaan isu, intrik dan fitnah yang disikapi dengan jiwa besar dan tak menghilangkan ketenangan dan kesantunan dalam menghadapinya. Membuat Anies sedikit dari pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional dan spiritual selain kecerdasan intelektual.
Itu modal fundamental dan radikal yang menandakan ada karakter humanis yang mutlak diperlukan seorang pemimpin, yang dimiliki sedikit orang. Itu saja dulu yang pentung dan mutlak di garis bawahi. Kalau bicara kinerja dan prestasi Anies, biarlah rakyat yang bicara dan menilai sendiri.
Terbukti program populis untuk kebanyakan Marhaen, seperti pembebasan PBB bagi para veteran pejuang, air minum dengan harga terjangkau, perhatian dan dukungan pada masyarakat disabilitas, penataan wajah kota yang ramah dan penuh estetika, pembangungan perumahan kampung Aquarium bagi masyarakat tergusur dan tertindas, memudahkan IMB rumah peribadatan dan upaya hibah untuk kesejahteran pengurusnya, musium Rasulullah, JIS dan in syaa Allah sirkuit Formula E dan pelbagai kesuksesan program nasional maupun internasional lainnya, nyata bukan sekedar janji-janji yang tak ditepati.
Begitupun walau berlimpah prestasi dan penghargaan, Anies tetap rendah hati tetap bekerja cerdas dan bekerja keras serta tidak jumawa. Karena siapapun pemimpin dan pejabat, kalaupun berprestasi, itu sesuatu yang wajar dan untuk itu ia mengemban amanat memegang jabatan, terlebih begitu banyak nasib rakyat ditentukan.
Seiring waktu dan proses kepemimpinannya ke depan serta keinginan rakyat luas yang menghendakinya menjadi presiden Indonesia. Ternyata Anies lebih Soekarnois. Anies mampu meneruskan semangat dan api nasionalisme dan patriotisme Soekano yang tak pernah padam.
Ternyata Anies Lebih Soekarnois, melebihi bahkan dari kalangan nasionalis dan Marhaenis yang hanya pandai mengumbar kata tapi tak bisa kerja sembari berlindung dan menjual kebesaran nama Soekarno.***