WAY KANAN — Ada yang gemerlap di tengah kebun milik negara. Tapi bukan kilau pembangunan, melainkan kilau emas ilegal yang diolah tanpa izin, tanpa etika, dan tanpa peduli lingkungan.
Lokasinya di lahan PTPN VII Blambangan Umpu, tepatnya tak jauh dari Polsek setempat, bahkan nyaris berdempetan. Miris? Tunggu dulu, ini baru pembuka.
Setiap harinya, satu titik tambang emas ilegal di kawasan itu bisa menghasilkan 15–20 gram emas.
Jika dihitung kasar dengan harga emas Rp1 juta per gram, maka dalam sehari satu lubang tambang bisa meraup Rp15–20 juta. Dan itu baru dari satu lubang.
Belum dari puluhan lainnya yang berserakan seperti jamur di musim ketidaktegasan.
“Siapa bilang rezeki harus halal dan lestari? Di sini, yang penting cepat dan menguntungkan,” ujar seorang warga setempat dengan nada sarkastik.
Menambang Sampai ke Bibir Jalan Lintas
Tingkat nekat para penambang ini pun tak kalah dari pembalap MotoGP. Beberapa titik tambang bahkan hanya selemparan batu dari Jalan Lintas Tengah Sumatera, jalur vital nasional.
Jika longsor terjadi? Ah, itu urusan nanti. Yang penting emas dulu, aspal belakangan.
Ekosistem rusak, jalur transportasi nasional terancam, dan keselamatan pekerja? Sayangnya semua itu tak masuk dalam kalkulasi “manajemen tambang liar”.
Dekat Polsek, Tapi Jauh dari Penertiban
Yang bikin masyarakat mengernyit, lokasi tambang emas ilegal ini berada nyaris di belakang Polsek Blambangan Umpu. Tapi tak ada garis polisi, tak ada suara sirene, apalagi penindakan. Apa mungkin emasnya terlalu menyilaukan, bahkan untuk aparat?
Warga sampai berseloroh, “Mungkin kalau tambangnya di atas genteng Polsek, baru ditindak.”
Drama Tambang, Dari Rebutan Emas hingga Bagi Tiga Anca
Di balik tambang, bukan hanya emas yang diperebutkan. Ada kisah rebutan pembeli emas, persaingan antarpenambang, hingga penggarap liar yang pakai ekskavator sendiri, menggali emas seperti menggali lubang kehancuran lingkungan. Tapi hasilnya bukan main, puluhan juta rupiah seminggu, tunai, tanpa pajak.
Sistem pembagian hasil pun menarik kalau tidak mau disebut menggelikan:
- 1/3 untuk pemilik mesin
- 1/3 untuk pekerja tambang
- 1/3 untuk penggarap lahan PTPN (disebut “Anca”)
Ya, lahan milik negara kini jadi lahan “garapan ber-emas” versi lokal. Pemerintah mungkin lupa punya aset di sini, atau sudah terlalu lelah mengejar batu bara dan lupa pada yang kuning-kuning.
Menurut pengakuan salah satu “pengurus dalam” tambang liar itu, transaksi emas ilegal di kawasan tersebut bisa mencapai ratusan juta rupiah per minggu.
Semua terjadi tanpa izin, tanpa perlindungan lingkungan, tanpa pengawasan. Tapi tetap lancar, aman, dan ceria. Seolah ada asuransi tak tertulis dari diamnya penegak hukum.
“Way Kanan kini lebih dikenal karena tambang emas ilegal dan mobil baru-baru bara,” kata seorang aktivis lingkungan dengan nada getir.
Way Kanan: Surganya Tambang Liar, Nerakanya Tata Kelola
Ironis, Bumi Ramik Ragom yang secara harfiah berarti tempat penuh keharmonisan kini dikenal sebagai pusat tambang liar, baik emas maupun batu bara.
Nama kabupaten ini melambung, bukan karena kemajuan, tapi karena kesan bahwa hukum dan pengawasan bisa dibeli atau dilewati.
Jika lahan PTPN bisa dijarah, sungai bisa dicemari, jalan nasional bisa dipertaruhkan, dan semua itu berlangsung di depan kantor polisi, maka yang kita hadapi bukan sekadar tambang emas liar. Tapi tambang kesadaran yang sudah lama runtuh.
Dan bila negara masih diam, maka warga akan bertanya:
“Yang ilegal siapa? Penambangnya atau pemerintah yang tutup mata?” (rls) ***