Scroll untuk baca artikel
Opini

Amuk Demonstran dan Tiga Celah Tikam

×

Amuk Demonstran dan Tiga Celah Tikam

Sebarkan artikel ini
Gelombang kecaman terus mengalir pasca tewasnya seorang pengemudi ojek online (ojol) yang ikut serta dalam aksi demonstrasi di Jakarta, Kamis (28/8).

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Bagaimana menjelaskan demonstrasi Agustus 2025?. Kenapa terjadi “amuk”?. Fenomena psikologis ledakan kemarahan ekstrem. Massa aksi melakukan perusakan fasilitas-fasilitas publik?.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Rumah sejumlah anggota DPR dijarah dan dirusak. Rumah sejumlah pejabat, seperti kediaman Menkeu. Pos-pos polisi dibakar. Driver ojek online tewas. “Amuk” itu menjalar ke daerah.

Mari kita terlusuri. Kita cermati fenomena itu melalui analisa berikut:

Pertama, respons terhadap elitisisme-glamourisme-apatisme sejumlah pejabat. Amuk merupakan ekspresi kemarahan rakyat atas elitisisme-glamourisme-apatisme itu. Pejabat dianggap acuh tak acuh, bahkan berpesta pora di tengah kesulitan rakyat.

Fenomena seperti itu memiliki justifikasi teoritik. “Relative Deprivation Theory” (Gurr, 1970), menyatakan: “ketika rakyat melihat kesenjangan antara kondisi mereka dan perilaku elit, muncul frustrasi”. Termanifestasi dalam bentuk kemarahan kolektif.

Berdasar data, tahun 2025, inflasi pangan 8–9% (yoy). Harga beras – cabai di atas 30%. Daya beli turun. Indeks Keyakinan Konsumen BI sempat jatuh ke level 70-an (terendah sejak pandemi). PBB naik.

Di sisi lain, publik menyaksikan sejumlah anggota DPR merayakan kenaikan gaji dan tunjangan. Kontradiksi ini memperkuat persepsi ketidakadilan itu.

Kedua, saluran terbatas dalam mengatasi situasi.

Sejumlah masyarakat merasakan penurunan daya beli. Terjadi inflasi, lapangan kerja stagnan, dan biaya hidup makin mahal. Namun tidak ada solusi jangka pendek. Terjadi penumpukan frustrasi publik. Dilampiaskanlah dalam bentuk “amuk” ketika ada momentum yang tepat.

Sejalan dengan “Frustration-Aggression Hypothesis” (Dollard et al., 1939). Frustrasi akibat kebutuhan tidak terpenuhi mudah berubah menjadi agresi. Senada pula “Structural Strain Theory” (Smelser, 1962). Menyatakan: ketika struktur sosial gagal menyediakan sarana untuk mencapai tujuan, tekanan sosial meningkat. Berujung pada kemungkinan konflik.

Ketiga, provokasi dan konsolidasi kebencian melalui media sosial. Barisan sakit hati (BSH) oleh kekalahan politik, memanfaatkan media sosial memprovokasi massa. Segala hal yang menyulitkan rezim berkuasa, akan merupakan hiburan tersendiri bagi BSH. Targetnya: rezim berkuasa gagal.

“Contagion Theory” (Le Bon, 1895), menyatakan: “emosi dan perilaku agresif menular dalam kelompok, dipercepat media sosial”. Teori “Social Amplification of Risk” (Kasperson et al., 1988). Menyatakan media sosial memperbesar persepsi ketidakadilan atau ancaman. Massa menjadi lebih cepat marah. Deepfake, hoaks, atau narasi politik partisan bisa memicu konflik yang sebelumnya tidak ada.

Keempat, fenomena geopolitik dan gangguan internal. Adanya kemungkinan campur tangan eksternal untuk menikam Indonesia dari dalam. Agresivitas politik luar negeri Indonesia juga bisa memicu timbulnya ketegangan internal. Memancing kekuatan-kekuatan global untuk meredakan agresivitas Indonesia itu dari dalam negeri Indonesai sendiri.

Sudut pandang ini didukung “External Threat Theory”. Ancaman eksternal bisa meningkatkan ketegangan internal jika elit atau faksi domestik terlihat gagal menghadapi ancaman. Ketidakpastian geopolitik, sanksi ekonomi, atau krisis regional bisa memperburuk frustrasi ekonomi dan politik domestik. Kemudian memicu kerusuhan.

Kelima, pelampiasan terhadap oknum faksi politik tertentu. Demonstrasi dimanfaatkan untuk (dianggapnya) pembersihan terhadap oknum yang dinilai mencederai rakyat. Massa aksi ingin “membersihkan” oknum yang dianggap tidak peduli rakyat itu.

Persektif ini didukung “Emergent Norm Theory” (Turner & Killian, 1987). Dalam kerumunan, norma baru muncul. Tindakan yang biasanya dianggap ekstrem, bisa dipandang sah. Juga bisa dilihat dari perspektif “Deindividuation” (Zimbardo, 1969). Identitas individu hilang dalam massa. Aksi ekstrem bisa muncul sebagai “pelampiasan kolektif”.

Perlu dicermati pula secara serius, “amuk” ini membuka celah lebih lebar intervensi eksternal. Setidaknya ada tiga peristiwa yang saling bersusulan. Kasus Ambalat, penembakan WNI di perbatasan Timor Leste. Terakhir amuk, di Jakarta yang merembet ke daerah-daerah.

Di perbatasan, Indonesia berpotensi diadu dalam dua front. Indonesia dibuat mati gaya atas desakan “pengelolaan bersama” atas Ambalat dengan Malaysia. Tegas dengan standar kedaulatan, berarti masuk perangkap: Indonesia berkonflik dengan Malaysia. Jika menerima “pengelolaan bersama” dianggap lembek oleh publik dalam negeri.

Timor Leste juga bisa menjadi triger masuknya intervensi asing. Jika terpancing dengan penembakan warga Indonesia di perbatasan, akan memancing masuknya campur tangan negara besar lainnya. Jika tidak tegas, tentu dipandang tidak kompeten melindungi warga perbatasan.

Tiga hal itu (Ambalat, Timor Leste, amuk massa), bisa menjadi celah menikam Indonesia dari dalam. Untuk menjadikan agresivitasnya dalam politik luar negeri menjadi lemah. Pijakan moralnya rapuh. Bagaimana menjadi jembatan konflik regional, bahkan global, jika di dalam negeri masih ada masalah.

Meredakan amuk massa, harus dengan menghilangkan sumbernya. Elitisisme-glamourisme-apatisme pejabat direduksi sedemikian rupa. Perlu intervensi problem darurat yang dihadapi masyarakat dari segmen paling rentan. Perlu kepekaan terhadap probolem sosial yang dihadapi sisiran-sisiran rakyat tertentu.

Perbaikan regulasi terhadap provokasi media sosial juga perlu. Jangan sampai media sosial menjadi instrumen terbuka untuk disintegrasi bangsa. Begitu pula dalam pengelolaan potesi ancaman geopolitik dan intervensi eksternal.

Celah intervensi atau ikut campur tangan asing harus direduksi sedemikian rupa. Agar tidak menjadi pintu merugikan bangsa. Termasuk edukasi publik akan potensi dijadikannya eskalasi dalam negeri sebagai sarana menikam Indonesia dari dalam.

• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)

SHARE DISINI!