SUMEDANG — Di tengah arus modernisasi yang kian deras, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi justru menepi ke akar. Ia berbicara bukan soal beton dan jalan tol, melainkan tentang “kampung” tempat sederhana yang kini ia mimpikan kembali sebagai panggung utama peradaban Sunda.
Pagelaran Budaya Mapag Pajajaran Anyar, Medal Gapura Ekosistem Budaya Kasumedangan, Rabu malam (29/10/2025) di Pendopo PPS dan Gedung Negara Sumedang, bukan sekadar hajatan budaya. Ia lebih mirip sebuah manifestasi kecil tentang bagaimana kebijakan bisa berangkat dari rasa, bukan sekadar data.
“Setiap kabupaten dan kota di Jawa Barat harus punya kampung budaya dengan ciri khasnya sendiri,” ujar Dedi, atau akrab disapa KDM, di hadapan seniman, pejabat, dan rakyat yang malam itu berselimut semerbak dupa dan denting gamelan.
Ia bicara tenang, tapi dengan nada seorang arsitek kebudayaan. “Contohnya di Sumedang, akan dibangun Kampung Kasumedangan dengan 100 sampai 200 rumah yang berkarakter Sumedang Larang,” tuturnya.
Sebuah ide yang terdengar romantis, tapi di balik itu menyimpan logika ekonomi yang tajam: kebudayaan sebagai infrastruktur baru.
KDM tahu, kampung bukan sekadar kumpulan rumah, tapi ekosistem kehidupan. Maka ia menjanjikan pelatihan untuk warga dari kuliner, kerajinan, hingga pengelolaan alam. Anak-anak akan belajar mengelola wisata, ibu-ibu menghidupkan dapur tradisi, bapak-bapak menjadi pemandu warisan.
“Di Purwakarta sudah berhasil. Selanjutnya Majalengka, Cirebon, dan lainnya. Kita ingin ada 27 kampung wisata yang jadi ikon Jawa Barat,” katanya, seolah sedang menyusun atlas baru kebudayaan.
Dan tentu, Sumedang punya “tahu”. Ya, tahu Sumedang makanan sederhana yang oleh Dedi diproyeksikan naik kelas menjadi ikon kuliner global.
“Bangunannya harus bagus, produknya standar, tampilannya menarik. Jangan lagi kios tahu terkesan kumuh. Nanti bisa jadi seperti franchise makanan cepat saji,” katanya sambil tersenyum.
Sebuah sindiran halus bagi bangsa yang suka berbangga pada kearifan lokal, tapi lupa menyiapkannya menghadapi pasar modern.
Bupati Sumedang, Dony Ahmad Munir, memanfaatkan momentum itu untuk meluncurkan Sumedang Investment Experience (SIX) sebuah platform digital untuk mempercepat investasi.
Ia menegaskan, citra budaya yang kuat akan memudahkan modal masuk. Di panggung yang sama, budaya dan bisnis berdampingan, satu menabuh kendang, satu menandatangani MoU.
“SIX ini untuk mempercepat investasi. Kalau investasi cepat masuk, lapangan kerja juga cepat tersedia,” ujarnya, realistis tapi tetap membawa nada harapan.
Tak hanya itu, Dony menambahkan bahwa setiap desa di Sumedang akan memperbaiki sedikitnya lima rumah tidak layak huni menggunakan APBDes. Dengan 270 desa, akan ada 1.350 rumah diperbaiki angka yang membumi di tengah jargon “ekosistem budaya” yang mengawang.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, datang dengan semangat nasional. Ia menyebut program tiga juta rumah dari Presiden Prabowo, lengkap dengan insentif dan subsidi bagi pengembang serta pelaku UMKM bahan bangunan.
“Khusus program KUR Perumahan, pemerintah beri insentif bagi UMKM dan subsidi lima persen untuk pengembang,” katanya.
Kata “rumah” kembali mengemuka, kali ini dalam dua makna: rumah sebagai hunian dan rumah sebagai simbol kebudayaan.
Dedi Mulyadi tampak memadukan keduanya. Ia bicara budaya dengan napas pembangunan, sementara para pejabat lain bicara pembangunan dengan selipan budaya dua dunia yang jarang bertemu, tapi malam itu bersalaman.
Pagelaran budaya ini mungkin tampak sederhana gamelan, tari, dan pidato. Namun di balik itu, Jawa Barat sedang mencoba sesuatu yang tak lagi populer di era digital: membangun masa depan lewat akar.
Ketika banyak daerah berebut mal dan jalan tol, Dedi memilih membangun “kampung”. Dan barangkali, di tengah negara yang terlalu sibuk membangun gedung, ada baiknya seseorang kembali mengingat, peradaban besar selalu dimulai dari sebuah rumah yang punya rasa, bukan dari kantor yang punya tender.
Pagelaran Mapag Pajajaran Anyar di Sumedang bukan sekadar peristiwa budaya ia adalah pernyataan politik tentang arah Jawa Barat ke depan antara nostalgia dan visi. Antara kearifan lokal dan ekonomi modern. Antara satir lembut dan kerja konkret.
Dan di tengah semua itu, Dedi Mulyadi tampak tetap pada dirinya seorang birokrat yang ingin menjadi seniman, atau mungkin seniman yang terpaksa menjadi birokrat.***















