KOTA BEKASI – Keimita Ayuni Putri Aiman seolah melawan geliat modernisasi dan jargon “Pendidikan untuk Semua”, di Kota Bekasi, Jawa Barat, karena justru harus menghadapi realita pahit setelah ditolak masuk ke SMP Negeri di Bantargebang.
Nilai bagus ternyata belum tentu cukup untuk bisa masuk sekolah negeri. Terlebih jika kamu lahir dari keluarga pemulung.
Mimpi Keimita sebenarnya sederhana dan sangat sederhana. Bukan ingin ke luar negeri, bukan ingin jadi YouTuber, apalagi selebgram. Dia cuma ingin melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 27 Bantar Gebang.
Tapi rupanya, harapan semudah itu terlalu mewah bagi sebagian sistem yang sibuk menghitung titik koordinat rumah ketimbang isi kepala.
“Nilainya bagus, tapi, ya tetap ditolak,” begitu kira-kira narasi yang muncul dari video TikTok yang diunggah akun @mandra_putra17, yang kini telah disaksikan ribuan netizen dengan caption menusuk, “Education not for sale, Mat Peci.”
Keimita diketahui adalah lulusan dari SDN Sumur Batu 1, dan tinggal tak jauh dari sekolah impiannya. Sayangnya, sistem zonasi kadang seperti permainan puzzle kalau kamu berasal dari keluarga dengan pekerjaan “terlalu sederhana”, sepertinya kamu juga dianggap “tak cocok” masuk ke dalam kotak.
Dalam video, Keimita terlihat menahan tangis. Bukan karena tidak bisa beli seragam atau sepatu baru, tapi karena impian sederhananya sekolah di negeri harus kandas oleh sesuatu yang tak pernah dia pelajari di bangku SD algoritma pendaftaran.
“Ayah saya pemulung. Tapi saya mau sekolah, saya mau jadi orang pintar,” ucap Keimita lirih dalam video.
Nilainya bagus. Tapi rupanya, sekarang nilai bagus sudah bukan syarat utama. Mungkin yang lebih penting adalah sinyal Wi-Fi kuat, KTP elektronik, dan kekuatan viral di TikTok.
Layaknya film drama dengan twist khas Indonesia, aksi nyata baru muncul setelah videonya viral. Seketika, grup-grup WhatsApp mulai ramai, dan seperti biasa.
Hal itu langsung ditangkap Koramil Bantargebang dengan turun tangan lebih dulu dari Dinas Pendidikan.
“Sudah ditangani oleh Koramil Bantargebang,” kata Ketua RT setempat, seperti laporan yang masuk ke redaksi.
“Langsung setelah viral. Iya, langsung gerak.”kata sumber Wawai News Sabtu 5 Juli 2025.
Tentu kita patut bersyukur Koramil ikut peduli. Tapi bayangkan jika tak ada video itu. Mungkin nasib Keimita akan tetap terdiam, hanya bisa menyaksikan teman-teman seusianya berseragam, sementara ia bertanya-tanya, “Apa salahku punya cita-cita sederhana?”
Tak semua orang bisa bayar sekolah mahal. Tapi haruskah mimpi itu juga dijual mahal? Kalau uang jadi pembeda, jangan salahkan kalau anak-anak seperti Keimita akan lebih hafal nama aplikasi edit video daripada nama menteri pendidikan.
“Nilai bagus saja tidak cukup, Nak. Sekarang, kalau mau sekolah, pastikan kamu punya kuota, akun TikTok, dan koneksi RT-RW yang siap share,” begitulah kira-kira pelajaran hidup yang terlalu dini untuk anak SD.
Di negeri ini, kadang sistem seperti drama. Anak-anak harus tampil dulu di TikTok sebelum diakui sebagai manusia yang pantas dapat pendidikan. Sementara itu, mari kita doakan Keimita tetap semangat.
Semoga suatu hari nanti, anak-anak seperti dia tak perlu viral untuk sekadar duduk di bangku sekolah negeri.
Dalam tiktok itu langsung ditanggapi Gubernur Jabar KDM yang langsung menulis komentar “Semoga sukses untuk mu ke depan nya nak” diberi emotion doa.***