Disampaikan Oleh: Yusuf Blegur
WAWAINEWS.ID – Harapan dan perubahan penting buat seluruh rakyat Indonesia, jika tak dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan sebelumnya, maka yang utama tidak akan mau mengulanginya.
Mendukung Anies Baswedan untuk menjadi presiden Indonesia, seseorang tidaklah harus alumni UGM. Seseorang juga tidak harus pernah aktif atau menjadi alumni HMI. Begitupun dengan agama apapun, tak pernah berjarak dengan karakter seorang Anies. Bahkan siapapun bisa memilih Anies meskipun bukan warga keturunan Arab, warga keturunan Tionghoa, warga keturunan eropa, atau warga keturunan Afrika sekalipun. Anies bukan hanya seorang warga kebanyakan, Anies juga seorang pemimpin yang kinerja dan capaian kerjanya tak terbantahkan di Indonesia dan dalam pandangan internasional.
BACA JUGA: Anies, ‘Oemar Bakri’ dan Pendidikan untuk Orang Miskin
Identifikasi sosial dan politik apapun yang melekat pada Anies tak akan mampu mengubur rekam jejak, rekam pikiran dan rekam karya yang pernah ditorehkannya. Anies kian hari semakin universal bagi spirit kebangsaan di Indonesia, meskipun framing politik identitas kerap menyerangnya. Meskipun buzzer dan haters serta konspirasi jahat selalu ingin menumbangkannya.
Kalau saja bangsa ini mau jujur mengakui telah bersepakat hingga mau melakukan konsensus nasional untuk menjadikan Indonesia sebagai negara kebangsaan bukan sebagai negara agama. Maka sepantasnya kebhinnekaan dan kemajemukan tidak lagi menjadi pertentangan atau konflik yang berpotensi menimbulkan disintegrasi nasional.
Tekad berhimpun mewujudkan NKRI dalam bingkai Panca Sila dan UUD 1945, idealnya berangkat dari kesadaran keberagaman suku, agama, ras dan antar golongan beserta adat istiadat, tradisi dan kearifan lokal di dalamnya yang menopang kebudayaan nasional. Kebhinnekaan menjadi semangat persatuan dan kesatuan akan realitas perbedaan yang ada. Sementara kemajemukan menjadi identitas kekayaan lokal yang mengokohkan pondasi keIndonesiaan sebagai negara bangsa.
BACA JUGA: Anies, Jumhur dan Pembebasan Alienasi Kaum Buruh
Proses demokrasi prosedural terutama dalam melahirkan kepemimpinan nasional, tak sepantasnya menjadi ajang perebutan kekuasaan ansih. Kekuasaan harus menjadi alat untuk mengelola idealisme. Begitupan bagi para kontenstannya, tak cukup citra diri lebih dari itu wajib mengedepankan harga diri dan pengabdian diri. Tak melulu nengandalkan ambisi, namun sudah menjadi prinsip untuk bermodal prestasi.
Bercermin pada kultur Jawa yang filosofisnya terkadang dominan mewarnai politik nasional. Meminjam istilah bibit, bebet, bobot, rasanya tidak bisa diabaikan dan cenderung relevan untuk menjadi kriteria paling afdol bagi calon presiden Indonesia. Dalam narasi yang lebih keren, capres mumpuni itu secara kepribadian harus memenuhi kelayakan historis, empiris dan ideologis kalau belum bisa nyaman dengan diksi nasionalis religius.