Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Lebaran Iedul Fithri yang lalu saya melewati baliho di pojokan alun-alun sebuah kabupaten. Tentu saja tertulis ucapan “selamat Iedul Fithri”.
Tidak lupa dengan asesoris bedug, pohon kurma dan tentu saja onta. Nuansa padang pasir.
Model ucapan seperti itu bisa di jumpai di banyak tempat. Di mall-mall maupun sekedar broadcast dalam bentuk poster media-media sosial.
Iedul adha kali ini juga banyak baliho, spanduk, maupun poster di media sosial. Informasi penyembelihan qurban, informasi sholat ied atau sekedar ucapan. Tidak sedikit menggunakan onta sebagai ilustrasi.
“Ngapain pakai ilustrasi onta, pohon kurma, atau padang pasir. Terlalu ke arab-araban”, celetuk saya ketika melewati baliho iedul fithri di pojokan alun-alun sebuah kabupaten itu.
“Ngapain eloe syirik dengan arab”, mungkin ada yang protes seperti itu. Protes penggunaan simbol Timur Tengah dalam kegiatan keagamaan dibalas tudingan sebagai rasisme anti Arab.
Gambar, bahkan siluet dalam baliho, spanduk, poster merupakan sebuah “komunikasi visual”. Padanya mengandung jutaan intepretasi sekaligus menebar jutaan pesan.
Komunikasi visual bukanlah sekedar gambar. Bahkan merupakan sebuah disiplin yang dipelajari dalam ilmu komunikasi.
Penggunaan simbol-simbol Timur Tengah untuk ilustrasi informasi kegiatan keagamaan, bisa
memuncul beragam intepretasi.
Pertama, Islam itu Arab dan Arab itu pasti Islam. Islam sebagai sumber nilai, campur aduk dengan budaya. Strategi komunimasi visual bisa mendegradasi pemahaman kegamaan publik dan mensejajarkan Islam dengan budaya.
Kedua, Islam sebagai budaya Arab, untuk orang Arab. Pelekatan simbol-simbol Arab pada beragam aspek ke-Islaman bisa mendistorsi pemahaman universalisme Islam di kalangan publik.
Strategi komunikasi visual dalam kegiatan ke-Islaman sudah seharusnya tidak memicu penyempitan pemahaman universalisme Islam itu.
Islam merupan tatanan nilai bagi segenap ummat manusia. Diturunkan di Arab dengan menggunakan bahasa Arab. Bahasa yang dipahami oleh manusia tempat agama diturunkan.
Bukan berarti budaya tempat agama diturunkan itu dengan sendirinya sama dengan nilai-nilai Islam.
Itulah protes penggunaan simbol-simbol Arab yang dituding sebagai anti Arab. Padahal maksudnya untuk menghindarkan penyempitan pemahaman atas universalisme Islam itu.
Kritik atas produk komunikasi visual dibalas dengan tudingan rasisme.
ARS (rohmanfth@gmail.com, Bogor, 16 Juni 2024).***