Oleh : Prof. Dr. Phil Kamarudin Amin, MA
WAWAINEWS.ID – Mengapa dalam islam ada hukum berpuasa di bulan Ramadhan, salat, berhaji, dan berzakat?
Jawaban umumnya agar bertakwa, agar semakin dekat kepada Allah SWT. Demikian di antara jawaban yang dapat ditemukan dalam Al-Quran dan sunnah.
Namun, hakikat sesungguhnya hanyalah Allah yang mengetahuinya.
Dalam konteks ibadah mahdlah, sebagai hamba Allah, kita melaksanakannya dengan ketundukan otentik dan kepasrahan total, dan menyerahkan sepenuhnya kepada-Nya, tanpa harus bertanya mengapa.
Mengapa?
Sebab, ibadah yang dilaksanakan adalah bentuk penyerahan diri secara absolut dan bentuk cinta tanpa syarat kepada-Nya. Saat kita beribadah, kita sedang merefleksikan versi ter-genuine diri kita sebagai hamba.
Sebagai ibadah yang sangat pribadi dan personal, puasa adalah bisnis antara hamba dengan Tuhannya (kullu ‘amal ibn Adam lahu illas-shiyaam, fainnahu lii wa ana ajzi bihi).
Puasa adalah hidangan rohani, suguhan langit, nutrisi jiwa, purifikasi spiritual, yang akan menghapus kebencian, kepongahan, iri hati dan segala penyakit hati.
Akhirnya puasa akan mempertajam spiritualitas dan memperhalus sensitivitas diri seorang hamba yang di dalamnya terdapat dimensi ketuhanan dan kemanusiaan.
Dalam hadis dikatakan bahwa puasa adalah perisai (al-siyaamu junnatun), yang secara alamiah akan memproteksi orang yang berpuasa dari hal-hal yang melenceng.
Dalam Al-Qur’an, puasa sebagai medium yang akan mengantarkan kita untuk mencapai gelar taqwa (la’allakum tattaquun).
Saat berpuasa seorang hamba sedang melakukan purifikasi jiwa dan sekaligus pendakian spiritual untuk menemui Sang Khalik (farhatun inda liqaa’i rabbih).
Amaliah ramadan seperti tarawih, tadarrus Al-Qur’an, qiyaamul-layl, berinfak, bersedekah adalah fitur fitur yang akan mengantarkan orang berpuasa untuk semakin dekat kepada-Nya.
Puasa yang dilaksanakan dengan sepenuh jiwa akan mentransformasi spiritualitas hamba yang akan mewujud dalam berbagai dimensi, baik dimensi spiritual transenden maupun dimensi sosial horizontal.
Dimensi Spiritual
Saat seluruh panca indra berpuasa, seorang hamba merasa sepenuhnya diawasi oleh Allah. Seluruh pikiran, hati, jiwa dan raganya secara sinergis membangun ekosistem perilaku yang selalu menjaganya selalu merasa berada dalam pengawasan-Nya.
Sehingga tidak akan melakukan hal hal yang akan membatalkan puasanya. Walhasil, puasa adalah tentang merasakan kehadiran Allah yang Mahahadir (omni present) dalam setiap tarikan nafas kita.
Sebab, tak satu detik pun Tuhan tidur, lalai, dan absen dari pengawasan dan pemantauan-Nya terhadap hamba-Nya.
Puasa adalah tentang kesadaran penuh akan kerendahan diri seorang hamba di hadapan Yang Mahamulia.
Puasa adalah tentang kepasrahan total di hadapan Yang Mahaagung. Puasa adalah wujud cinta dan penghambaan otentik kepada Sang Pencipta.
Karenanya, puasa seyogyanya menjadi penuntun rohani agar kita selalu di jalan-Nya dan perisai yang akan memproteksi kita dari ketakterkendalian diri, kesombongan, kepongahan, dan keangkuhan.
Puasa akan mendekatkan diri kita kepada-Nya; kedekatan otentik yang dirasakan secara genuine. Merasakan kedekatan Tuhan akan membuat kita mencintai-Nya dan menyayangi makhluk-Nya. Karena kita sadar bahwa kita adalah satu kesatuan makhluk.
Menyayangi orang lain, hakikatnya adalah menyayangi pencipta-Nya dan menyayangi diri sendiri. Begitu pula sebaliknya.