TANGGAMUS – Drama kepemilikan Sertifikat Hak Milik (SHM) milik Supriono kian panas, tapi sayang, proses hukumnya justru tersendat karena BRI Unit Wonosobo memilih diam-diam melipir dari panggilan penyidik Satreskrim Polres Tanggamus.
Sosok yang dinanti, Kepala Unit BRI Wonosobo Pachrudin Saleh, tidak muncul tanpa kabar alias mangkir dari panggilan pemeriksaan yang dijadwalkan, Senin (23/6/2025).
“Jelas kami kecewa. Harusnya diperiksa hari ini, tapi tidak datang dan tidak ada alasan. Kalau mangkir sampai tiga kali, ya mohon maaf, kami minta penyidik jemput paksa,” tegas kuasa hukum Supriono, Adi Putra Amril.
Menurut Adi, mangkirnya pihak bank bukan hanya soal absen, tapi juga menunjukkan sikap tidak kooperatif yang patut dipertanyakan.
“Kami ingin menegaskan, ini bukan lembaga yang kebal hukum. Jangan sampai masyarakat berpikir perbankan itu bisa semena-mena dan tak tersentuh,” ujar Adi.
“Ini bukan sekadar urusan administrasi, ini menyangkut hak tanah orang, lho!”imbuhnya.
Sementara itu, Kurnain, pendamping korban dari unsur masyarakat sipil, juga menyuarakan keresahannya. Ia bahkan menyebut proses hukum ini mulai terasa seperti sinetron bersambung.
“Kita sudah masuk episode ketiga, tokohnya belum juga muncul. Tapi kami percaya penyidik Polres Tanggamus tetap profesional. Mudah-mudahan pemanggilan berikutnya enggak perlu drama tambahan,” kelakarnya.
Kasus ini mencuat setelah Supriono, warga Tanggamus, mengaku bahwa SHM miliknya dikuasai sepihak oleh pihak bank, padahal ia merasa tidak pernah menyetujui pelepasan hak secara hukum.
Penyidik Unit Tipidter Satreskrim Polres Tanggamus telah membuka penyelidikan, dan mengagendakan pemeriksaan terhadap pihak BRI. Namun absennya kepala unit berpotensi memperlambat pengungkapan kebenaran.
Kasus ini menjadi perhatian masyarakat karena menyangkut kepercayaan terhadap institusi perbankan. Bila benar ada penguasaan sepihak atas tanah warga, maka integritas BRI sebagai lembaga keuangan negara dipertaruhkan.
“Kalau bank bisa kuasai sertifikat begitu saja, tanpa proses dan tanpa dasar, apa kabar dengan nasabah kecil di luar sana? Ini preseden buruk kalau dibiarkan,” pungkas Adi.
Satu yang pasti, penegakan hukum tak boleh berhenti hanya karena satu pihak ogah datang. Proses hukum bukan undangan pesta yang bisa diabaikan seenaknya. Bila perlu, jemput bola bukan hanya strategi sepak bola, tapi juga strategi hukum.
Rakyat menunggu keadilan ditegakkan dan semua pihak, termasuk bank, harus duduk manis di hadapan hukum.***