Opini

Kekuasaan “Tidak Tak Terbatas” (Elit) Partai

×

Kekuasaan “Tidak Tak Terbatas” (Elit) Partai

Sebarkan artikel ini
Abdul Rohman Sukardi
Abdul Rohman Sukardi

Caleg terpilih seharusnya hanya boleh mengundurkan diri ketika: 1. Meninggal dunia. 2. Melanggar hukum yang diputus pengadilan, atau setidaknya menjadi tersangka. 3. Hilang kewarganegaraan. 4. Sakit permanen dan tidak mampu menjalankan tugas yang dibuktikan oleh keterangan dokter. 5. Melanggar sumpah dan janji sebagai anggota dewan. 6. Rangkap jabatan. Misalnya mencalonan sebagai kepala daerah atau menjabat pada jabatan publik yang lain.

Peraturan perundang-undangan yang ada pada saat ini memungkinkan anggota DPR berhenti oleh sebab: mengundurkan diri, meninggal dunia, melanggar sumpah dan janji, putusan pengadilan, berhenti sebagai anggota parpol.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Ketentuan ini membuka celah otoritarianisme partai. Atau otoritarianisme sejumlah elit partai. Selain rekayasa oleh caleg itu sendiri untuk transaksi pragmatis.

BACA JUGA :  Polemik Nasab Harus Berhenti Melalui Adu Bukti

Ketika calon terpilih tidak dikehendaki partai atau elit partai, caleg terpilih bisa direkayasa untuk mundur atau diberhentikan keanggotaannya oleh alasan tertentu. Otomatis keanggotan sebagai legislatif gugur.

Hak asasi caleg itu yang kemudian dikorbankan. Selain hak konstituen pula yang dirugikan.

Rekayasa juga terjadi ketika caleg terpilih ingin mentransaksikan jabatannya dengan sejumlah kompensasi tertentu. Ia rela meninggalkan kursi legislatifnya digantikan kandidat berikutnya. Walaupun hal ini bisa menjadi kasus yang langka.

Konstituen yang kemudian dirugikan. Ditipu aspirasinya oleh anggota legislatif bersangkutan.

Ketentuan “mengundurkan diri” dan “berhentinya keanggotaan parpol”, sebagai sayarat berhenti sebagai DPR, bisa menjadi pintu munculnya otoritarianime partai atau elit partai. Pintu munculnya “kekuasaan tak terbatas”.

BACA JUGA :  Tiket Sekali Jalan

Terdapat kecenderungan dinasti-dinasti politik memanfaatkan celah itu. Untuk meloloskan keluarganya dari mahkamah elektoral rakyat yang tidak mau memilihnya.

Bahkan ada kecenderungan mekanisme suara tertinggi hendak dikembalikan melalui sistem tertutup. Dengan dalih memicu maraknya korupsi.

Agar para elit parpol bisa bermain pada nomer urut. Walaupun dukungan suara rakyat terhadapnya tidak memadai.

Otoritarianisme melalui celah ketentuan itu bisa berdampak amputasi hak asasi politik caleg terpilih. Juga amputasi aspirasi konstituen.

Ketentuan itu harus diperbaiki. Agar “kekuasaan tidak tak terbatas” bener-bener tercermin dalam peradaban politik bangsa kita.

Demokrasi menganut prinsip “kekuasaan tidak tak terbatas”. Maka perlu legal frame work. Kerangka hukum yang ketat.

Untuk memastikan pola relasi partai-caleg-konstituen yang adil. Melindungi hak asasi masing-masing pihak.

BACA JUGA :  Corak Idiologis Pendukung Capres, Kalian yang Mana?

Peraturan hukum yang tidak sejalan dengan prinsip “kekuasaan tidak tak terbatas” harus diubah. Beragam celah trik otoritarian harus ditutup.

ARS (rohmanfth@gmail.com), Jaksel, 09-10-2024

Abdul Rohman Sukardi
Opini

Mengiringi spirit dekonstruksi serba kolonial itu seharusnya tidak…

Abdul Rohman Sukardi
Otomatif

Dahlan Iskan melalui tulisannya, “Bukan Bus”. Menggambarkan tidak…