Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Rumusan Sila keempat Pancasila merupakan frase unik dan kompleks. Ialah ”Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”.
Maknanya pengelolaan Indonesia merdeka dilakukan oleh rakyat (menggunakan sistem demokrasi). Kepemimpinan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bukan sistem monarkhi lagi. Sebagaimana tradisi kepemimpinan Nusantara sebelumnya. Ialah sistem kerajaan-kasultanan.
“Kepemimpinan rakyat” itu harus dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam sistem permusyawaratan perwakilan.
Pada sila ke-empat itu terdapat tiga amanat besar. Pertama, kepemimpinan rakyat. Kedua, kepemiminan rakyat itu harus dipimpin “hikmat kebijaksanaan”. Ketiga, kepemimpinan rakyat yang dipimpin hikmat kebijaksanaan itu menggunakan sistem permusyawaratan-perwakilan.
Pemaknaan dan implementasi rumusan sila-sila Pancasila tidak bisa dibuat melalui tafsir bebas. Setidaknya terikat oleh dua pendekatan.
Pertama, pendekatan historis. Kedua, pendekatan yuridis.
Pendekatan historis merupakan telaah materi-materi perdebatan sidang-sidang BPUPKI. Menggali cara pandang perumus konstitusi generasi awal terkait konstruksi Indonesia merdeka. Konstruksi yang kemudian dikristalisasi dalam lima sila Pancasila itu.
Merupakan elaborasi dari pertimbangan sosiologis, idiologis maupun perspektif teknis sistem ketatanegaraan.
Pendekatan yuridis, merupakan telaah implementasi sila-sila itu dalam batang tubuh UUD 1945. Berupa operasionalisasi teknis sila-sila Pancasila dalam sistem ketatanegaraan.
Berdasar dua pendekatan itu, implementasi sila keempat Pancasila berupa sistem MPR. Sistem khas yang memang diciptakan untuk kondisi multikulturalisme Indonesia. Kedaulatan berada di tangan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam sistem permusyawaratan.
Sayangnya sistem ini, locus kedaulatan dilakukan MPR, dihapus dalam amandemen UUD 1945.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 asli menyebutkan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Locus nya jelas. Ketentuan itu diubah oleh UUD amandemen. Pasal 1 ayat (2) amandemen menyebut “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Siapa implementator kedaulatan rakyat menjadi absurd. Tidak mungkin rakyat secara keseluruhan melakukannya.
Keterhubungannya dengan sila ke 4 Pancasila juga terputus. Amanatnya, kepemimpinan rakyat harus dipimpin “hikmat kebijaksanaan” dalam “sistem permusyawaratan perwakilan”. Dibuat menjadi tidak jelas pada UUD amandemen.
Diskursus reformasi terjebak pada makna kepemimpinan rakyat dalam bentuk teknis rekruitmen belaka. Perdebatannya pada “pemilu langsung atau tidak”.
Melupakan bahwa sistem MPR bukan semata teknis rekruitmen belaka dalam kepemimpinan bangsa.