LAMPUNG TIMUR – Di ujung timur Lampung, waktu seperti memilih untuk melambat. Bukan karena enggan berjalan, tetapi karena ia ingin dikenang. Taman Purbakala Pugung Raharjo berdiri tenang di Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur.
Bukan taman hiburan, bukan pula destinasi yang gaduh oleh teriakan wahana. Di sini, liburan akhir tahun dirayakan dengan cara berbeda, berjalan pelan, menoleh ke masa lalu, dan berdamai dengan sunyi.
Jejak-jejak megalitikum tertanam rapi di antara hamparan rumput hijau. Batu-batu besar berdiri seperti saksi bisu peradaban, seolah menyimpan cerita tentang manusia pertama yang pernah belajar hidup selaras dengan alam.
Setiap langkah pengunjung bukan sekadar perjalanan wisata, melainkan dialog sunyi dengan sejarah. Di sudut lain, teras berundak dan punden berteras memantulkan cahaya sore yang jatuh lembut.
Sinar matahari akhir tahun membias di antara pepohonan, menciptakan lanskap estetik yang nyaris tak perlu filter kamera. Di sinilah banyak pengunjung berhenti, duduk, dan membiarkan pikirannya pulang, entah ke masa kecil, entah ke harapan tahun depan.
Tak ada musik keras. Yang terdengar hanya desir angin, suara burung, dan sesekali tawa kecil keluarga yang datang tanpa tergesa. Anak-anak belajar mengenal sejarah tanpa papan tulis. Orang dewasa belajar kembali tentang kesabaran bahwa tidak semua hal harus cepat dan viral.
Menjelang senja, Pugung Raharjo menjelma ruang kontemplasi. Akhir tahun yang biasanya identik dengan pesta dan keramaian, di sini berubah menjadi ritual hening: menutup kalender dengan rasa syukur, bukan hiruk-pikuk.
Bagi mereka yang lelah dengan destinasi serba ramai, Taman Purbakala Pugung Raharjo menawarkan kemewahan yang semakin langka ketenangan, makna, dan keindahan yang tidak dibuat-buat.
Mungkin, cara terbaik menyambut tahun baru bukan dengan kembang api,
melainkan dengan mendengarkan kembali cerita lama yang diam-diam mengajarkan kita cara menjadi manusia.***
