Kluster kedua, merupakan basis massa anti sistem. Seperti eks HTI. Mereka tidak menerima sistem demokrasi seperti di Indonesia. Mereka ingin sistem sendiri: khilafah.
Target kelompok ini bukan untuk memenangkan kompetisi pilpres. Melainkan menjadikan AB sebagai aliansi sementara atau “kuda troya” untuk mendekonstruksi sistem.
Targetnya adalah rapuhnya sistem demokrasi Pancasila. Untuk kemudian ide khilafah diterima luas di kalangan nmasyarakat.
Kluster pendukung ini juga bukan sumberdaya politik yang bisa diajak AB untuk membangun partai. Mereka memiliki agendanya sendiri.
Kluster ketiga, merupakan basis massa parpol pendukung dalam pilpres. Anggota PKS, Nasdem, PKB. Basis massa kelompok ini akan kembali sebagai pekerja politik bagi partainya. Tidak untuk partai selain itu. Termasuk partai yang didirikan AB.
Kluster keempat merupakan basis massa partisan. Hasil produk framming citra positif terhadap sosok AB. Oleh framming itu mereka menjatuhkan simpati dan dukungannya terhadap AB. Bukan produk kaderisasi politik. Maka tidak bisa diandalkan untuk menjadi pekerja-pekerja politik bagi parpol yang didirikan AB.
AB berbeda dengan Anas Urbaningrum (AU). Figur terakhir ini merupakan produk kaderisasi organisasi kader mahasiswa hingga puncak karir. Pemimpin puncak organisasi. HMI. AB tidak sampai memimpin puncak organisasi kader mahasiswa itu.
Organisasi kader mahasiswa ini merupakan sekolah politik bagi para aktivis mahasiswa. Mereka memiliki talenta dalam manajemen organisasi politik. Maupun kerja-kerja politik.
Hal itu menjadikan AU memiliki sumberdaya politik pada setiap kota yang memiliki perguruan tinggi. Pada setiap kota yang memiliki jaringan alumni organisasi itu. AB tidak memiliki. Karir puncaknya hingga senat mahasiswa. Setelah itu melanjutkan studi ke luar negeri.
Berdasarkan realitas itu, mendirikan parpol sendiri bagi AB bisa diduga juga merupakan jalan terjal. Apalagi menghidupinya memerlukan biaya yang tidak murah.
ARS (rohmanfth@gmail.com), Jaksel, 03-09-2024