Scroll untuk baca artikel
Opini

Catatan Akhir Tahun Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle)

×

Catatan Akhir Tahun Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle)

Sebarkan artikel ini
Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle (foto_scn)

Ini umumnya terjadi di era Suharto dan sesudahnya. Pada era Sukarno, ambisi-ambisinya untuk menjadi pemimpin besar, seperti istilah Fuhrer untuk Adolf Hitler, yang tidak terkontrol, juga merupakan pelanggaran amanah.

Margareth MacMillan, Oxford University, dalam World Economics Forum, 2017 memberikan catatan tentang perangkap yang selalu ada dalam kekuasaan. Perangkap itu antara lain ketika sang pemimpin terperangkap oleh propaganda yang dia buat sendiri dan ketika sang pemimpin tidak sensitif kapan waktunya turun tahta.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

BACA JUGA: Anies Urung Hadiri Muktamar Al-Isryad di Purwokerto. Kenapa?

MacMillan juga mencatat bahayanya seorang pemimpin jika “kurang mau mendengar” masukan. Kejatuhan seorang pemimpin maupun melenceng dari arah yang benar, awalnya terjadi karena menutup diri dari saran atau nasihat lingkungan politiknya.

Tantangan terbesar Bangsa Indonesia sampai saat ini adalah korupsi dan perangkap feodalisme. Kepentingan publik, ruang publik, asset publik dan segala yang bersifat publik dibajak untuk memenuhi interest pribadi dan atau keluarga.

Bahkan, kekuasaan dan power saat terkahir ini, secara kasat mata, digunakan juga untuk mendelegitimasi upaya penangan korupsi oleh KPK. Feodalisme sendiri terkait upaya -upaya mewariskan kekuasaan berdasarkan keturunan, bukan ukuran kepantasan. Penggunaan 11.000 aparat negara menjaga perkawinan anak presiden, seperti baru-baru ini terjadi, juga ada contoh kekonyolan sifat feodalistik pemimpin.

BACA JUGA: Demi Kemenangan, PKS Legowo Jika Anies Dipasangkan dengan AHY

Korupsi dan feodalisme merupakan tantangan internal. Namun, tantangan eksternal berasal dari perubahan geopolitik, recovery paska pandemi Covid-19 dan perubahan teknologi.

Lima tahun lalu, World Economics Forum, 2017, misalnya melihat tantangan geopolitik, berupa perang dagang US vs. RRC serta industri 4.0, sebagai “driving factors” arah dunia, namun saat ini kita sadari yang terjadi bukan lagi perang dagang, tapi telah terjadi perang fisik di Ukraina, antara Russia yang didukung RRC, Korea Utara dan Iran versus Amerika dan barat, serta adanya potensi perang di Laut China Selatan antara blok Amerika vs. RRC. Perang dagang dan perang fisik ini merupakan katastropik alias malapetaka besar bagi dunia, termasuk Indonesia.

Pemimpin Indonesia ke depan harus menghitung secara teliti dan sungguh-sungguh posisi dan keterlibatan Indonesia dalam geopolitik itu. Kita tidak hidup di ruang hampa, seolah-olah bisa mengisolasi diri atau memberikan propaganda nasionalisme semu kepada rakyat.

Sejarah memperlihatkan ketika Belgia menyatakan netral dalam perang dunia kedua, Hitler langsung menyerbu Belgia. Seberapa kuat kita sebagai sebuah bangsa saat ini? Apakah perpecahan yang direkayasa selama sepuluh tahun terakhir, yang saya yakin dimotori kaum oligarki, mampu membuat benteng kebangsaan kita dalam dunia yang bergolak?

Tantangan teknologi juga persoalan besar yang harus kita hadapi. Saat ini di luar isu industri 4.0 dan society 5.0, digitalisasi telah sempurna paska pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, meskipun sarana teknologi informasi telah optimal, namun manusia masih enggan untuk sepenuhnya dalam dunia digital tersebut.

Dengan pengakuan atas dunia digital ini, berbagai ahli hukum di negara maju, misalnya mulai mempelajari kontraktual baru antara manusia. Misalnya, apakah pemerkosaan di Metaverse yang dilakukan seseorang mempunyai dampak hukum di dunia nyata? Banyak sekali turuan persoalan dari dunia digital ini.

Pemimpin yang tidak melihat kerumitan baru akibat digitalisasi dunia, pasti akan membawa Indonesia terjebak dalam keterpurukan yang lebih dahsyat. Kebiasaan Indonesia dari jaman VOC yang bangga dengan berdagang rempah-rempah dan hasil tambang adalah kebanggaan yang seharusnya dihapus dari kehidupan kita. Bangsa ini harus siap menyongsong dunia dengan teknologi tercanggih ke depan.

Ada ungkapan populer sebagai berikut: “dalam setiap krisis, pemimpin besar akan datang.” Memang sejarah seringkali menunjukkan hal demikian. Tapi sejarah juga menunjukkan bahwa Sukarno dan para pendiri bangsa datang setelah orang-orang Indonesia badannya tinggal tulang dihisap Belanda.

Percaya pada Allah SWT tentu saja, tapi takdir itu harus rakyat yang menjemputnya. Rakyat Indonesia saat ini dalam krisis yang dalam dan dunia sedang begitu kejam. Satu-satunya jalan adalah bangkit dan menjemput pemimpin ideal itu, bukan diam dan pasrah.

Pada tahun depan semua kekuatan berebut kekuasaan. Kaum oligarki telah membuat “road map” yang indikasinya adalah UU Omnibuslaw Cipta Kerja, di mana kontrol kaum kapitalis maksimal dalam mengekploitasi kekayaan alam.

Indikasi kedua adalah pemindahan ibukota. Jika ibukota dipindahkan maka Jakarta akan sepenuhnya dikontrol kaum kapitalis. Jakarta adalah kota kaya raya. Menurut sebuah riset, hanya 5 pengembang atau kelompok bisnis properti yang menguasai tanah-tanah strategis di Jabodetabek.

Selama ini Jakarta bergolak karena para oligarki tidak bisa seenaknya, karena di Jakarta berimpit antara urusan politik dan bisnis. Pemimpin yang bertarung ke depan adalah penerus kepentingan oligarki atau sebaliknya kembali pada pemimpin besar yang cinta rakyat?

Sampai saat ini kita melihat kekuatan oligarki versus kekuatan rakyat cukup berimbang. Hancurnya kelompok Sambo, yang terindikasi sebagai sebuah kekuatan pemukul kaum oligarki, menyulitkan operasi politik mereka ke depan.

Operasi politik dengan PT 20% juga terlihat penuh hambatan, karena gerakan Surya Paloh yang memisahkan diri dari barisan Jokowi cukup fatal bagi kontrol atas penjaringan capres mereka. Rencana penggagalan pemilu ke depan, melalui isu perpanjangan masa jabatan, mempunyai potensi kerusuhan sosial yang mungkin tidak terkendali.

Kekuatan oligarki kelihatannya juga mulai terpecah belah, ada yang mulai beradaptasi pada konsesi politik yang saling menguntungkan semua kekuatan bangsa.

Bangsa Indonesia harus terus optimis melihat perubahan ke depan. Kita harus bersandar pada cita-cita proklamasi sebagai acuan. Indonesia harus untuk Bangsa Indonesia. Kakayaan alam kita harus dibagi rata, semua mendapatkannya, semua senang bersama-sama. Ideologi Pancasila yang sosialitik harus kembali jaya.

Lalu siapa pemimpin ideal ke depan? Pemimpin ideal ke depan, dari pembahasan kita di atas, adalah pemimpin yang tidak didukung kekuasaan dan kekuatan Jokowi. Jika kita bekerja keras menemukannya serta berdoa pada Allah SWT, maka akan segera terlihat banyak pemimpin pilihan ke depan. Pemimpin yang penuh amanah, terpercaya, cinta rakyat miskin, dan tidak tunduk pada kepentingan asing maupun segelintir oligarki.

Jika tahun depan muncul banyak atau beberapa pemimpin ideal di ruang publik, maka tugas selanjutnya adalah membangun komunikasi dan koalisi antara parpol yang cukup mengusung capres/cawapres.

Kita harus optimis itu akan terjadi juga. Perlu dihindari egoisme elit kaum perubahan. Musyawarah dan mufakat bisa dipraktikkan dalam menyusun rencana pencapresan yang saling menguntungkan, namun terutama untuk menguntungkan bangsa. ***