JAKARTA – Ujung lidah bisa lebih tajam dari sebilah pedang, dan kali ini, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tampaknya sedang berdansa di ujungnya dengan membuat kontroversi baru merubah nama rumah sakit dari Al Ihsan menjadi Welas Asih.
Keputusan sang gubernur mengganti nama Rumah Sakit Al-Ihsan menjadi Welas Asih memantik bara kritik dari tokoh Front Pembela Islam, Habib Rizieq Shihab (HRS), yang menyebut kebijakan itu sebagai bentuk nyata Islamofobia terselubung.
Dalam pernyataan HRS melalui kanal YouTube IBTV, Sabtu (5/7/2025), HRS menuding bahwa langkah KDM sapaan Dedi Mulyadi bukan hanya soal nama, tapi sebuah pesan terselubung yang berusaha meminggirkan identitas Islam dari ruang publik.
“Ini bukan sekadar ganti nama, ini penghilangan jejak. Rumah sakit yang dibangun dari keringat, zakat, dan infak umat, kini dilepaskan dari akarnya dengan dalih estetika budaya. Islamofobia dibungkus kain batik Sunda,” tegas HRS.
Tak berhenti di situ, Habib Rizieq juga mengungkit ‘dosa lama’ Dedi Mulyadi saat menjabat Bupati Purwakarta. Kala itu, KDM sempat mengganti salam “Assalamualaikum” dengan “Sampurasun”, salam khas Sunda. Bagi HRS, itu bukan bentuk akulturasi, tapi amputasi.
“Salam Islam itu syiar. Boleh digabung, tapi jangan diganti total. Assalamualaikum itu doa, bukan sekadar sapaan,” kata HRS dengan nada yang lebih mirip khutbah perlawanan.
Menurutnya, mengedepankan “Sampurasun” tanpa “Assalamualaikum” sama saja seperti menyajikan nasi tanpa lauk, atau lebih buruk—berniat menyuap tanpa niat memberi makan.
Nama Al-Ihsan, yang memiliki arti kebaikan dalam Islam, sudah lama mendarah daging di telinga umat. Menghapusnya, menurut HRS, bukan hanya soal administrasi, tapi soal identitas.
Ia mempertanyakan logika di balik penggantian nama rumah sakit yang dibangun dari dana umat, hanya karena terlalu “berbau Arab”.
“Apa selanjutnya? Apakah ‘Masjid’ akan diganti jadi ‘Balai Doa’? Ini bukan soal estetika, ini soal arah peradaban. Jangan bermain-main dengan simbol keimanan,” tegasnya.
HRS menyebut penggantian nama ini sebagai upaya sistematis menjauhkan masyarakat dari akar spiritual dan sejarah Islam yang sudah lama menjadi bagian dari peradaban Nusantara.
Puncak kegelisahan HRS meledak ketika menyentil pernyataan KDM yang dikabarkan pernah menyebut Islam sebagai agama pendatang. Menurutnya, pernyataan semacam itu tak hanya rasis, tapi juga picik dan berpotensi meretakkan fondasi kebangsaan.
“Apa itu maksudnya? Kalau begitu, demokrasi juga pendatang, bahasa Indonesia pun pendatang! Jangan pilih-pilih pendatang kalau tak tahan kritik,” sindir HRS pedas menyebut jangan samakan islam dan filsafat.
Dia mengingatkan bahwa Indonesia bukan milik satu suku, satu agama, atau satu budaya, tetapi sebuah rumah besar tempat semua anak bangsa tinggal, tak peduli dari mana akar sejarahnya berasal.
Habib Rizieq pun menutup pernyataannya dengan peringatan keras jangan coba-coba mengobok-obok nilai-nilai Islam dengan dalih pluralisme yang semu. Ia menekankan bahwa Islam membawa nilai akidah, syariah, dan akhlak yang tak bisa dipisahkan.
“Islam itu bukan kosmetik budaya. Ia membentuk peradaban, bukan sekadar ornamen di dinding rumah sakit,” pungkasnya.
Di tengah sorotan publik yang semakin tajam, drama antara warisan spiritual dan politik identitas ini masih jauh dari usai.
Pertanyaan besar kini menggantung di udara Apakah “Welas Asih” benar-benar sebuah nama kasih sayang, atau justru wajah baru dari ketidaksukaan yang dibungkus dalam kebaya kebudayaan?.***