Pemilihan kepala desa (pilkandes) tahun 2019 akan diselenggarakan di Kabupaten Lampung Timur, yang akan dilaksanakan pada 152 desa di wilayah Bumi Tuah Bepadan itu. Perang foto pun sudah mulai mengisi dinding status sosial bertengger di media sosial, umbar visi misi, dan beragam gaya dengan harap mendapat simpati.
Maklum, saja mereka akan mencalonkan diri, dulunya tidak pernah aktif di media sosial terlihat akun baru bermunculan, dulu tidak pernah komentar sekarang rajin meng-like status apapun warga yang berpotensi memiliki hak suara di wilayahnya, memajang foto wajah berlatar belakang merah putih, merah saja atau biru. layaknya foto KTP, dengan senyum tipis, kalem dan lainnya. ya…mereka mulai berpromosi diri ala politisi Ibu Kota, meniru Capres dan Caleg yang perang baleho ketika Pemilu.
Obrolan kedai kopi, tempat hajatan atau di warung desa, bahkan ditempat orang berduka pun seliweran. Soal Pilkades menjadi perbincangan hangat kalangan warga. Bak politikus handal mereka berbicara, menilai, dan memberi pendapat tentang bakal calon tertentu yang sudah mulai menyatakan diri maju.
Dari berbagai pendapat warga Kampung ku, saya berkesimpulan bahwa bagi mereka mencalonkan diri sebagai kepala desa adalah suatu hal yang harus dipertimbangkan dengan matang. Mereka tidak paham kompetisi, harus ada menang dan kalah. Mereka juga mengaitkan soal pergaulan dilingkungan, perhatian kepada wilayah, keaktifan dan lainnya.
Mereka “egois” mereka lupa bahwa setiap kompetisi itu ada menang dan kalah. Tapi bagi 90 persen warga Kampung ku itu, kalah Pilkades adalah AIB berkepanjangan yang akan dikenang sampai akhir hayatnya. Kalah dalam berkompetisi adalah malu yang harus ditanggung keluarga. Padahal kalah menang suatu hal biasa, dalam pertandingan.
Mereka lupa, bahwa Pemilihan langsung itu adanya sejak kapan, Pemilihan Langsung merupakan ciptaan kolonial Belanda, bahwa dalam penelitian Maschab, pada masa penjajahan Belanda pilkades di Pulau Jawa pernah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat secara terbatas hanya pada kelompok elite desa maupun keturunan kepala desa sebelumnya.
Lain halnya pada masa penjajahan Jepang. Saat itu pilkades diselenggarakan secara langsung yang diwakili seorang kepala keluarga dari setiap keluarga. Sedangkan paad era Indonesia merdeka, khususnya sekarang, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Desa (UU Desa)
Tapi apapun itu, saya hanya ingin menyampaikan bahwa Pilkades bukan ajang MENCARI KERJA. Pilkades, harus menghasilkan pemimpin yang memiliki visioner, berwawasan, berpendidikan dan melik teknologi seiring dengan generasi era revolusi industri 4.0 yang selalu digaungkan Pemerintah. Mereka harus paham 4.0. agar tidak menghasilkan Kepala Desa yang mencari kerja, status sosial tanpa tujuan yang jelas.
Kepala Desa menjadi jabatan strategis saat ini, hingga banyak yang tergiur untuk berkompetisi dan menganggap paling layak jadi pemimpin. Untuk itu saya berharap, Pilkades bisa terlaksana dengan damai. Karena mekanisme pilkades umumnya akan menciptakan persaingan ketat di antara para calon kepala desa, memunculkan sensitivitas tinggi antarpendukung, dan tidak jarang berpotensi besar menimbulkan konflik.
Persaingan politik uang di antara para calon kepala desa tidak bisa dihindarkan karena inilah salah satu cara pragmatis supaya calon kepala desa memperoleh dukungan suara dari pemilih. Meskipun tidak semua pemilih akan memilih calon kepala desa dengan iming-iming uang.
Berkompetisi lah dengan santun, tunjukkan kridebilitas, jangan hiraukan suara sumbang. Setidaknya kalian sudah memiliki mental juara berani maju ditengah pandangan orang Kampung yang ketika bertanding harus menang. Mereka lupa dalam pertandingan menang kalah itu hal biasa. Doktrin kalah, menjadi aib, sepertinya sengaja diciptakan agar yang menjadi pemimpin itu itu saja, dan dari keluarga itu. SELAMAT Berkompetisi calon Juara. Semoga dapat menghasilkan pemimpin visioner (red)